Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2024

Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Secepat itu Kita Mengeluh?

Gambar
Tepat bulan Mei kemarin.  Kegelisahan itu datang tanpa permisi, menyelinap di sela-sela langkah saat menghadapi kesulitan. Rasanya seperti ada beban yang tak terlihat, menekan dada, membuat napas terasa sesak. Pikiran berlarian tanpa arah, memutar berbagai kemungkinan buruk, seolah dunia berhenti mendengar suara harapan. Aku bertanya-tanya, mengapa hidup tak pernah berjalan mulus? Mengapa selalu ada tantangan yang menghadang, apa ini menguji batas kemampuanku? Kala itu dokter berkata bahwa suamiku harus segera opname karena sakit demam berdarah dan typus. Oke terdengar hanya penyakit yang tidak serius. Tapi ini rawat inap perdana sejak kami menikah. Entah mengapa  itu sudah membuatku buyar seakan banyak permasalahan yang harus kuhadapi. Mengurus administrasi rawat inap, mengurus anak, bolak balik rumah, rumah sakit, dan sekolah. Kulakukan sendirian, karena ada di perantauan, jauh dari saudara/keluarga dan tentunya gak mau merepotkan tetangga. So, hectic banget sampai kayaknya ...

Pecahan Kaca dan Sebuah Refleksi Keimanan

Gambar
  "PYARRR" Suara pecahan kaca terdengar tajam, memecah keheningan di tengah keramaian. Di hadapanku, tumbler beling seorang anak terjatuh, isinya tumpah, dan pecahan kaca tersebar di lantai. Anak seusia SD itu tampak kebingungan, berdiri di antara kepingan-kepingan tajam itu, sementara orang-orang dewasa di sekelilingnya tetap sibuk dengan aktivitas mereka, seolah tidak terjadi apa-apa. Aku menunggu, berharap seseorang akan bertindak. Tapi tidak ada yang bergerak. Detik demi detik berlalu, dan aku merasa seperti satu-satunya yang sadar bahwa ini adalah situasi berbahaya. Anak itu bisa terluka. Orang-orang yang lalu-lalang bisa terinjak pecahan kaca. Apa iya aku juga harus bersikap sama seperti mereka? Membiarkan kaca berserakan atau memanggil cleaning servis untuk membersihkan? Rasa frustrasi mulai merayap dalam diri. "Kenapa tidak ada yang peduli?" pikirku. Akhirnya, aku menghela napas dan mengambil langkah maju, menyusuri lantai yang berserakan pecahan. Aku memint...