The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

Pecahan Kaca dan Sebuah Refleksi Keimanan

 


"PYARRR"

Suara pecahan kaca terdengar tajam, memecah keheningan di tengah keramaian. Di hadapanku, tumbler beling seorang anak terjatuh, isinya tumpah, dan pecahan kaca tersebar di lantai. Anak seusia SD itu tampak kebingungan, berdiri di antara kepingan-kepingan tajam itu, sementara orang-orang dewasa di sekelilingnya tetap sibuk dengan aktivitas mereka, seolah tidak terjadi apa-apa.

Aku menunggu, berharap seseorang akan bertindak. Tapi tidak ada yang bergerak. Detik demi detik berlalu, dan aku merasa seperti satu-satunya yang sadar bahwa ini adalah situasi berbahaya. Anak itu bisa terluka. Orang-orang yang lalu-lalang bisa terinjak pecahan kaca. Apa iya aku juga harus bersikap sama seperti mereka? Membiarkan kaca berserakan atau memanggil cleaning servis untuk membersihkan? Rasa frustrasi mulai merayap dalam diri.

"Kenapa tidak ada yang peduli?" pikirku. Akhirnya, aku menghela napas dan mengambil langkah maju, menyusuri lantai yang berserakan pecahan. Aku meminta anak itu untuk mengambil sapu dan pengki sembari memantaunya untuk membersihkan pecahan kaca itu. Ya aku melakukan ini agar anak itu bisa bertanggung jawab. Namun ternyata belum tuntas, masih ada sisa serpihan kaca yang mengancam bahaya. Maka aku harus turun tangan dan membereskan semuanya.

Saat aku berjongkok, memunguti pecahan-pecahan kecil dengan hati-hati, perasaan yang tidak menyenangkan mulai tumbuh. Kenapa aku satu-satunya yang peduli? Kenapa harus aku yang membersihkan ini? Rasanya seperti aku menjadi "babu" di tengah-tengah mereka, mengurusi kekacauan yang bukan aku penyebabnya. Orang-orang dewasa lain berdiri tanpa bertindak, seolah-olah ini adalah hal yang sepele. Padahal, anak kecil itu hampir saja menginjak pecahan.

Sapuanku terus bergerak, namun pikiranku dipenuhi rasa geram. “Ini bukan pekerjaanku,” gumamku dalam hati. Tetapi, aku terus melanjutkan, meski perasaan bahwa aku dianggap tak penting, atau lebih tepatnya tak terlihat, semakin menyesakkan dada.

Setelah selesai, aku membuang pecahan kaca itu ke tempat sampah. Masih tidak ada satu pun yang mengucapkan terima kasih atau menawarkan bantuan. Mereka semua tetap larut dalam dunia mereka sendiri. Aku berdiri sejenak, menatap mereka yang tidak tersentuh oleh apa yang baru saja terjadi. Dalam hati, aku tahu aku telah melakukan hal yang benar—tapi tetap saja, rasanya pahit.

Dengan menghela napas, aku teringat akan sabda Rasulullah SAW: “Iman itu ada tujuh puluh lebih cabang. Yang paling tinggi adalah ucapan Laa ilaaha illallah (tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah), dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.” (HR. Muslim). Aku tahu bahwa meskipun membersihkan pecahan kaca ini mungkin tampak sepele di mata orang lain, tapi dalam pandangan Allah, tindakan kecil yang bermanfaat ini bisa memiliki nilai besar.

Tindakan menolong orang lain, terutama dalam hal keselamatan, adalah bentuk ibadah. Allah mencintai hamba-Nya yang selalu berbuat baik kepada sesama, meskipun kebaikan itu tampak kecil dan tidak dilihat orang lain. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad). Aku mengingatkan diriku bahwa apa yang aku lakukan bukan untuk mendapatkan pujian dari manusia, tetapi karena mengharapkan ridha Allah. Ini adalah bentuk pelayanan kepada sesama dan bentuk kecil dari ibadahku kepada Allah. Membersihkan jalan dari bahaya, meskipun sederhana, adalah salah satu bentuk amal shalih yang dicintai-Nya.

Setelah selesai, aku berdiri sejenak, menatap orang-orang yang tak menyadari apa yang baru saja kulakukan. Mungkin mereka tak akan pernah tahu atau peduli bahwa aku telah berusaha menjaga keselamatan mereka. Tapi, aku ingat bahwa Allah Maha Melihat, dan itulah yang terpenting. Perasaan puas yang sederhana hadir, karena aku tahu bahwa meskipun aku merasa tidak dihargai oleh manusia, aku telah berusaha menjalankan salah satu cabang iman yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang