Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Secepat itu Kita Mengeluh?


Tepat bulan Mei kemarin. Kegelisahan itu datang tanpa permisi, menyelinap di sela-sela langkah saat menghadapi kesulitan. Rasanya seperti ada beban yang tak terlihat, menekan dada, membuat napas terasa sesak. Pikiran berlarian tanpa arah, memutar berbagai kemungkinan buruk, seolah dunia berhenti mendengar suara harapan. Aku bertanya-tanya, mengapa hidup tak pernah berjalan mulus? Mengapa selalu ada tantangan yang menghadang, apa ini menguji batas kemampuanku?

Kala itu dokter berkata bahwa suamiku harus segera opname karena sakit demam berdarah dan typus. Oke terdengar hanya penyakit yang tidak serius. Tapi ini rawat inap perdana sejak kami menikah. Entah mengapa  itu sudah membuatku buyar seakan banyak permasalahan yang harus kuhadapi. Mengurus administrasi rawat inap, mengurus anak, bolak balik rumah, rumah sakit, dan sekolah. Kulakukan sendirian, karena ada di perantauan, jauh dari saudara/keluarga dan tentunya gak mau merepotkan tetangga. So, hectic banget sampai kayaknya mau teriak, dan pengen ngeluh. Tapi? secepat itukah mengeluh? Halow? Masalah yang sedang kuhadapi ini masih remeh lho, pikirku kemudian. Sampai akhirnya, di saat aku sudah mulai tenang, aku mencoba untuk meresapi segala hal yang terjadi. Mencoba mengambil hikmah yang tersembunyi.



Dalam kegelisahan itu, aku juga menyadari sesuatu: setiap kesulitan yang datang membawa pelajaran tersembunyi. Menerima kesulitan bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk terus melangkah meski jalan terasa gelap. Kesulitan mengajarkan kita untuk lebih sabar, lebih kuat, dan lebih bijak dalam menghadapi realita kehidupan. Di tengah badai, ada momen di mana kita bisa berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan berkata pada diri sendiri, “Aku bisa melewati ini.”

Manusia tidak harus selalu tahu bagaimana akhirnya, cukup tahu bahwa setiap langkah kecil yang kita ambil mendekatkan kita pada hari di mana kegelisahan itu beralih menjadi keyakinan.
Kehidupan manusia itu seperti perjalanan yang panjang dan berliku-liku, penuh dengan tantangan dan kejutan yang kadang-kadang sulit ditebak. Di tengah perjalanan ini, banyak dari kita yang sering banget mengeluh. Mengeluh seolah jadi reaksi otomatis ketika kita menghadapi kesulitan, ketidakpastian, atau rasa kecewa. Tapi, kenapa kita begitu gampang mengeluh dan bagaimana sih cara yang baik untuk menghadapinya supaya hidup kita tidak dipenuhi keluhan?

Sebenernya, mengeluh adalah cara kita mengekspresikan ketidakpuasan. Ketika sesuatu nggak berjalan sesuai harapan, rencana gagal, atau kita merasa diperlakukan nggak adil, kita akan cenderung mengeluh. Oke, jika mengeluh itu bisa memberikan rasa lega, tapi itu hanya sementara! Oke mungkin dengan mengeluh bikin kita merasa didukung oleh orang lain,tapi, kalau keseringan, ini bisa jadi nggak bagus. Kebiasaan mengeluh bisa bikin kita terjebak dalam pola pikir negatif yang akhirnya menghambat kemampuan kita untuk melihat solusi atau peluang.

Lalu secepat itukah kita mengeluh?

Kita harus sadar bahwa tantangan dan kesulitan adalah bagian dari hidup. Setiap orang pasti ngalamin masalah, entah itu masalah pribadi, keuangan, kesehatan, atau hubungan. Mengeluh mungkin bisa bikin lega sementara, tapi nggak akan menyelesaikan masalah. Jadi, langkah pertama untuk mengatasi kebiasaan mengeluh adalah menerima bahwa kesulitan adalah hal yang wajar dan setiap masalah adalah kesempatan buat belajar dan tumbuh.

Salah satu cara untuk mengurangi kebiasaan mengeluh adalah dengan bersyukur. Bersyukur bikin kita fokus pada hal-hal positif dalam hidup, meskipun lagi susah. Coba deh setiap hari tulis hal-hal yang kita syukuri. Nggak perlu yang besar, bisa hal kecil kayak cuaca yang cerah, senyum teman, atau secangkir kopi yang enak. Dengan latihan ini, lama-lama kita jadi lebih mudah melihat sisi baik daripada sisi buruk, dan otomatis mengeluh pun berkurang.

Selain itu, penting buat kita untuk melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda. Ketika menghadapi masalah, coba pikirin apa yang bisa dipelajari dari situasi itu dan gimana hal itu bisa bikin kita jadi lebih baik. Misalnya, kalau kamu gagal di ujian, daripada mengeluh dan putus asa, coba lihat kegagalan itu sebagai kesempatan buat belajar lebih giat atau mencari cara belajar yang lebih efektif.

Mengelola ekspektasi juga penting. Banyak keluhan datang karena kita punya ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap diri sendiri atau orang lain. Kita mungkin mengharapkan kesempurnaan dalam segala hal, tapi kenyataannya nggak selalu sesuai harapan. Dengan mengelola ekspektasi dan menerima bahwa nggak semua hal akan berjalan sempurna, kita bisa mengurangi kekecewaan dan otomatis mengurangi kebiasaan mengeluh.

Mengatasi stres juga sangat penting. Stres adalah salah satu penyebab utama mengeluh. Ketika kita merasa tertekan, kita lebih cenderung melihat segala sesuatu dari sisi negatif. Jadi, coba deh latihan teknik mengatasi stres seperti meditasi, olahraga, atau curhat ke teman dekat. Ini bisa membantu kita tetap tenang dan positif meskipun situasinya sulit.

Dukungan sosial juga nggak kalah penting. Punya teman atau keluarga yang peduli dan mendukung kita bisa memberikan kekuatan untuk menghadapi tantangan tanpa terlalu banyak mengeluh. Ketika kita merasa didukung, kita lebih mampu melihat situasi dengan lebih positif dan mencari solusi.

Mengeluh juga bisa diatasi dengan tindakan nyata. Ketika kita menghadapi masalah, coba buat daftar langkah-langkah yang bisa diambil untuk mengatasinya dan mulai bertindak. Dengan fokus pada tindakan daripada keluhan, kita bisa merasa lebih berdaya dan mampu mengendalikan situasi.

Selain itu, penting untuk mengenali dan mengakui perasaan kita. Kadang-kadang, mengeluh adalah cara kita untuk mengungkapkan perasaan seperti frustrasi, takut, atau sedih. Dengan mengenali perasaan ini dan mencari cara yang lebih konstruktif untuk menghadapinya, kita bisa mengurangi kebiasaan mengeluh. Misalnya, berbicara dengan teman, menulis di jurnal, atau mencari bantuan dari orang yang lebih ahli.

Kita juga harus memberi diri kita waktu untuk beristirahat dan merawat diri. Hidup di zaman sekarang penuh dengan tekanan dan tuntutan yang tinggi, yang bisa bikin kita gampang merasa kewalahan dan mengeluh. Jadi, pastikan kita cukup istirahat, makan makanan sehat, dan melakukan aktivitas yang kita nikmati. Ini bisa membantu menjaga keseimbangan emosi kita dan mengurangi kecenderungan untuk mengeluh.

Punya tujuan yang jelas dalam hidup juga sangat membantu. Ketika kita punya tujuan yang jelas dan bermakna, kita lebih mampu menghadapi tantangan tanpa merasa terlalu tertekan atau mengeluh. Tujuan memberikan arah dan motivasi, sehingga kita lebih fokus pada apa yang ingin dicapai daripada hambatan yang dihadapi. Jadi, luangkan waktu untuk menetapkan tujuan yang jelas dan buat rencana untuk mencapainya.

Akhirnya, selalu ingat bahwa hidup adalah perjalanan penuh pelajaran. Setiap tantangan dan kesulitan adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh. Dengan mengubah cara pandang kita terhadap masalah dan melihatnya sebagai peluang untuk berkembang, kita bisa mengurangi kebiasaan mengeluh dan menjalani hidup dengan lebih bermakna dan bahagia.

Jadi, meskipun mengeluh adalah hal yang wajar, kita bisa belajar untuk menghadapinya dengan cara yang lebih baik. Dengan bersyukur, mengelola ekspektasi, mengatasi stres, membangun dukungan sosial, fokus pada aksi, mengenali perasaan, merawat diri, memiliki tujuan yang jelas, dan melihat tantangan sebagai peluang untuk belajar. Saat kita bisa mengurangi kebiasaan mengeluh dan menjalani hidup dengan lebih positif dan bermakna, maka kita bisa menjadi pribadi yang lebih kuat, bijaksana, dan mampu menghadapi segala liku kehidupan dengan penuh ketabahan dan optimisme. So, mau secepat itu mengeluh?

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah