The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

Sembilan Tahun Lamanya


Siang itu ketika aku ditanya oleh beberapa rekan tentang sertifikat profesi, background pendidikan, dan masa kerja, mereka terpukau saat aku menjawab sudah bekerja di tempat sebelumnya selama kurang lebih 9 tahun. 

Memang tidak banyak yang tahu asal usulku, track recordeku (apaan tuh), semenjak kepindahan ini. Ehmm oke, aku memang belum mengukir banyak prestasi. Aku masih merasa perlu banyak lagi belajar meski sudah bisa dikatakan "lama" dalam menjalani profesi ini. 

Eh profesi apa sih?? Sekarang aku mau cerita. Dan, spoiler aja, cerita ini insya Allah akan menjadi buku antologi. Aamiiiin.

Bagiku berkunjung ke perpustakaan itu seru. Memilih-milih buku, menelusuri barisan judul-judul pada setiap rak, membuka lembaran-lembaran yang berwarna-warni, oh sangat menyenangkan. Apalagi saat menemukan buku cerita yang menarik, aku tak sabar ingin meminjamnya.

Terselip rasa bangga dan puas jika bisa meminjam dan mengembalikan buku di perpustakaan. Bisa membaca aneka buku secara gratis itu sangat mengasyikkan. Bahkan saat beranjak SMA, kebiasaan itu masih kujalani. Tak hanya di perpustakaan sekolah, aku juga mulai menjamah perpustakaan daerah. Semakin banyak melihat buku-buku yang beraneka ragam, rasanya semakin berbinar. Terlebih ketika menjumpai genre buku favoritku, fiksi/novel remaja.

Selepas SMA, aku berencana melanjutkan ke perguruan tinggi. Entah mengapa ada sebuah petunjuk yang menuntunku untuk memilih jurusan ilmu perpustakaan. Satu hal yang selama ini masih kuingat, saat proses pendaftaran, seorang petugas administrasi kampus memberitahuku bahwa jurusan ilmu perpustakaan itu kedepannya berprospek bagus. Akhirnya aku memilih jurusan itu. Pikirku, selama ini aku ‘kan suka ke perpustakaan, jika ke depannya bisa setiap hari bekerja sekaligus bisa menikmati semua buku-buku yang ada di perpustakaan, bukanlah itu sebuah kebahagiaan?

Tahun 2011,  tepatnya 5 semester menjalani kehidupan sebagai mahasiswa ilmu perpustakaan, aku melihat di papan pengumuman kampus ada sebuah informasi lowongan pustakawan di sebuah sekolah yang tak jauh dari tempat tinggalku. Meski belum mengantongi ijazah aku mencoba saja melamar, dan ternyata pihak sekolah menerimaku karena memang benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa mengelola perpustakaan. Aku diperbolehkan bekerja di sela-sela jam kosong kuliah. Bersyukur sekali, diberi kesempatan yang baik ini. Bisa menerapkan ilmu yang kudapat di bangku kuliah, sekaligus bisa mendapat bayaran tiap bulan.

Sekolah itu memiliki sebuah gedung khusus untuk perpustakaan, lengkap dengan beraneka koleksi buku, rak, karpet, meja baca dan perangkat komputer yang lengkap. Aku bersyukur bisa berguna bahkan sebelum aku lulus, pengetahuanku tentang pengelolaan perpustakaan sudah banyak yang membutuhkan.

Semangat kuliah sambil bekerja membuatku ingin segera menyelesaikan studi. Tak membutuhkan waktu lama, 3 tahun 8 bulan akhirnya aku resmi menjadi sarjana. Setelah lulus kuliah, aku masih melanjutkan pengabdianku di sekolah itu, menjadi pustakawan seutuhnya.

Bekerja penuh waktu membuatku mulai berpikir bagaimana agar perpustakaan ini semakin bermanfaat. Aku harus berinovasi. Selain kegiatan teknis pengolahan koleksi dan layanan peminjaman/pengembalian buku, aku merancang aneka kegiatan perpustakaan antara lain membacakan cerita, teka-teki kuis pintar, pemilihan pustakawan kecil, wajib kunjung perpustakaan, dsb. Seruuuu deh. Meski pada akhirnya, awal tahun 2021, aku pindah ke Bekasi karena mengikuti suami. Demi menjalankan kewajiban sebagai abdi negara kami sekeluarga meninggalkan Jogja. Tentu kerinduan itu akhirnya terasa lagi saat aku benar-benar harus meninggalkan mereka. Perpindahan ini memang awalnya terasa berat. Bagaimana tidak? Aku harus merelakan semua yang telah kurintis sejak 9 tahun yang lalu.Tentu tak mudah berpisah dengan anak-anak, rekan guru, dan teman-teman komunitas pustakawan. Banyak sekali kebersamaan yang telah kami ukir. Suka duka yang tertoreh menjadi kenangan indah yang selalu membuatku tersenyum saat mengingatnya.

Sembilan tahun lamanya ini bukan hal yang sia-sia. Banyak pengalaman berharga yang kudapat saat bekerja di perpustakaan SD Guwo. Tempat  itu menjadi pijakanku dalam berkarir sebagai pustakawan. Sebuah langkah awal aku mengenal dunia kerja di perpustakaan sekolah, yang notabene merupakan jantungnya pendidikan.

Saat ini aku sudah diterima di sebuah sekolah swasta di Bekasi. Melanjutkan karir sebagai pustakawan tentunya. Mengembangkan diri lagi, mencoba berinovasi lagi, mengabdi pada negeri untuk berkontribusi di bidang literasi. Satu lagi, aku akan selalu merindukan semua kegiatan dan kebersamaan dengan anak-anak di perpustakaan.

Kalau dulu ada sebuah lagu yang berlirik "sembilan tahun lamanya tak kuduga jadi sia-sia", tapi kalau kisah hidupku ini akan menjadi sebuah lirik "sembilan tahun lamanya, ku yakin tak akan sia-sia"😊

Terimakasih sudah membaca kisahku.
Terimakasih sudah mampir.
Terimakasih🙏🙏

 


Komentar

Posting Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang