The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Ramadan dan Idulfitri selalu membawa kebahagiaan tersendiri bagi umat Islam. Bulan penuh berkah ini identik dengan ibadah yang meningkat, momen kebersamaan keluarga, serta berbagi kebahagiaan dengan sesama. Namun, di era digital dan media sosial, makna Ramadan dan Idulfitri kerap mengalami pergeseran. Berbagai tren viral seperti tarian THR, gaya velocity, hingga berbagi snack dengan cara yang lebih mengedepankan hiburan ketimbang nilai keikhlasan, menjadi fenomena yang ramai diperbincangkan. Ironisnya, tren-tren ini tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai Islam dan justru dapat menjadi bumerang bagi para pelakunya.
Salah satu tren yang marak terjadi adalah tarian THR. Banyak orang berlomba-lomba membuat video sambil menari untuk mendapatkan angpao atau hadiah dari keluarga atau teman. Meskipun terlihat sebagai hiburan semata, tren ini secara tidak langsung mengajarkan mentalitas meminta dengan cara yang kurang pantas. Dalam Islam, memberi dan menerima hadiah adalah hal yang dianjurkan, namun harus dilakukan dengan cara yang beradab, bukan dengan menari atau melakukan aksi-aksi yang berlebihan di depan kamera. Ironisnya lagi, setelah diusut ternyata tarian itu beradal dari kebiasaan tarian yahudi.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Sa'id Al- Khudri bahwa Rasulullah bersabda, "Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob ( yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya." Kami (para sahabat) berkata, "Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Lantas siapa lagi?"
Naudzubillah. Maka pentingnya kita menimba ilmu dan tidak latah untuk ikut-ikutan.
Selain itu, gaya velocity yang banyak digunakan dalam konten-konten Ramadan juga menimbulkan kekhawatiran. Oh ya masih ada lagi, nyanyian viral lainnya yang menjadi trend. Memang tidak semuanya buruk, tapi juga perlu kita kaji dan sharing mana yang lebih penting. Karena kalau dibiarkan, tanpa memperhatikan ajaran Islam.
Tak hanya itu, berbagi snack—yang awalnya merupakan kebiasaan baik—kini juga mengalami pergeseran makna. Banyak orang membagikan snack dengan gaya yang lebih menonjolkan estetika dan keunikan packaging daripada esensi berbagi itu sendiri, (ya biar kece kalau dijadiin story). Bahkan, ada yang berbagi hanya untuk sekadar mengikuti tren tanpa memahami makna ikhlas dalam berbagi. Hal ini bisa saja membentuk pola pikir konsumtif dan pamer, yang bertentangan dengan nilai kesederhanaan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam Islam.
Di balik ramainya tren ini, ada satu faktor utama yang mendorong banyak orang untuk ikut serta, yaitu FOMO (Fear of Missing Out). Ketakutan akan ketinggalan tren membuat seseorang merasa perlu ikut serta meskipun ia sadar bahwa tren tersebut tidak memiliki manfaat yang jelas. Sayangnya, tekanan sosial ini sering kali lebih kuat daripada pertimbangan nilai-nilai agama.
Sebagian orang merasa takut dianggap ‘kudet’ atau kurang update jika tidak mengikuti tren yang sedang viral. Akibatnya, mereka rela melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu atau bahkan bertentangan dengan prinsip mereka sendiri. Padahal, menjadi berbeda dalam kebaikan adalah sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar ikut-ikutan demi validasi sosial.
Islam mengajarkan umatnya untuk selalu bertindak dengan niat yang baik dan mengutamakan keikhlasan. Ramadan dan Idulfitri seharusnya menjadi momen untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan sekadar ajang mengikuti tren yang bersifat sementara. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih selektif dalam mengikuti tren, terutama yang tidak memiliki manfaat atau bahkan bertentangan dengan ajaran agama.
Alih-alih sibuk membuat konten yang hanya berorientasi pada hiburan, mengapa tidak memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan kebaikan? Membagikan kisah inspiratif, ajakan untuk beribadah, atau sekadar mengingatkan pentingnya berbagi dengan niat tulus akan jauh lebih bermanfaat daripada sekadar mengikuti tren demi popularitas.
Pada akhirnya, tidak ada salahnya mengikuti perkembangan zaman, tetapi kita harus tetap bijak dalam menyaring tren yang ada. Jangan sampai demi keinginan untuk terlihat up-to-date, kita justru kehilangan esensi dari Ramadan dan Idulfitri itu sendiri. Sebab, yang terpenting bukanlah seberapa viral kita di dunia, melainkan seberapa berkah hidup kita di hadapan Allah. Barakallahufiikum.
Mumpung masih nuansa lebaran. Selamat idul fitri, ya. Mohon maaf lahir dan batin.
TAQOBBALALLAHU MINNA WA MINKUM SHIYAAMANAA WASHIYAAMAKUM TAQOBBAL YAA KARIIM
Komentar
Posting Komentar