Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Terompet dan Legenda O Bia Mokara

 

Haii...kemana aja diriku?? Udah hampir seminggu menapaki tahun baru.

Yaps, ini adalah postingan pertama di tahun 2022. Tahun baru kemarin, aku ke mana aja??? Halowww...entahlah. Aku sendiri memang gak begitu interest dengan perayaan tahun baru, terlebih lagi agama Islam pun melarang ikut-ikutan hal yang seperti itu. Iya kan? Tau lah ya? Budaya nyalain kembang api, bakar-bakaran, tiup terompet itu ga ada perintahnya dalam Islam. Apalagi ini kan pergantian tahun baru masehi. Ngapain di rayain?

Iya sih, secara administratif kita ngikutin kalender masehi, iyaps, oke, fine. Tapi hari itu sama aja. Masih 24 jam, matahari masih terbit dari timur dan tenggelam ke barat dan aku tambah tua ๐Ÿ˜Ÿ

Oke, karena secara kalender berubah menjadi awal yang baru, boleh membuat moment perubahan target baru, goals baru dalam hidup. Tapi itu lagi, cara memaknainya ya ga perlu pakai cara-cara jahilliyah.

Ngomongin soal niup terompet. Jadi teringat kisah yang kualami tahun lalu. Sekitar akhir Desember 2020, menjelang tahun baru 2021, tepatnya saat virus corona udah merebak. Tau lah ya pas horornya waktu itu, bagian-bagian yang sensitif harus dihindari dari jangkauan orang-orang kan mulut dan hidung. Lha, kalau yang namanya terompet itu kan pake ditiup, pake mulut kan ya, pas bikin ditiup, pas dijual ditiupin, dicoba ditiup lagi, udah berapa kali tuh tersentuh mulut orang? Gak kebayang kan seperti apa pestanya virus di ujung terompet itu. (Halah overthinking banget yaaah). 
Makanya, pas waktu itu aku wanti-wanti banget ke Salman, "Jangan beli terompet,"

Dia sih "iya-iya" gt aja, tenang lah ya seorang ibu kalau si anak ga merengek-rengek minta, pasti aman gak akan beli terompet.

Eh, ga tau nya. Pas aku pergi, pulang-pulang nyampe rumah dia udah bawa terompet. Langsung deh aku interogasi. Ternyata, dibeliin ama om nya. Hadewwww langsung deh klarifikasi ama si om. Meski dengan berbagai alasan, ternyata dia merengek-rengek pengen sama kayak temen-temennya, meski itu yang beliin omnya, meski itu udah disterilkan kek, ah entahlah. Rasanya Mau marah, tapi kayak nasi udah jadi bubur gitu. Akhirnya cuma bisa mengomel dalam hati dan ada sebongkah rasa kecewa yang luar biasa menyerang dalam dada. 

Lalu, tetiba aku ingat sebuah cerita yang pernah kutulis dalam sebuah buku "Dongeng 100 Kota". Aku menulis sebuah kisah "O Bia Moloku dan O Bia Mokara"

Sebuah cerita rakyat yang menggambarkan betapa besar efek kemarahan seorang ibu akibat sikap anaknya yang gak menaati perintahnya.

Saat menuliskan kembali kisah ini, terbesit rasa meremehkan, halah cuma gitu aja "mutung". Padahal si anak juga gak dosa-dosa banget. Ibaratnya level kebandelannya terhitung wajar untuk ukuran seorang anak. 

Tapi dari situ aku bisa merasakan betapa kecewanya seorang ibu saat anaknya tidak mematuhi perintahnya. Kecewaaa bgt. Sampai akhirnya merasa dia tiada berguna sebagai ibu. Seperti kasus si dia yang beli terompet tadi. Padahal klo dari kisah o bia itu, dari sisi manusiawi bisa sangat dimaklumi lah ya. Karena saking tidak kuatnya menahan lapar. Dan tentu rasa kecewaku ketika si dia akhirnya membeli terompet itu sebenarnya hal remeh juga. Tapi rasa kecewa yang dirasakan seorang ibu memang luar biasa. Apalagi masih pakai dalih "ah namanya anak-anak" 

Sebenarnya aku kurang setuju dengan dalih "namanya juga anak-anak". Menganggap bahwa permintaan  anak harus selalu dituruti itu tidak ada dalam kamus keluarga kami. Jika barang itu tidak ada manfaatnya tidak perlu beli, apalagi hanya agar sama dengan teman-temannya. Karena di sinilah pendidikan itu bermula. Lalu kapan kita bisa mengajarkan akan artinya kesabaran? Menahan diri, tidak iri, dan sebagainya.

Sampai di sini dulu. Terimakasih sudah mampir. Terimakasih sudah membaca.

Salam๐Ÿ™



Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah