Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Pusaran Arus Negatif



"Eh, sebel deh, aku gak suka ama sikap si X itu, dia sok cantik, sok pinter, sok suci, eh pelit senyum lagi, malesin banget,"

Jika kalimat itu terdengar oleh diriku yang belum mengenal si X sama sekali, biasanya aku akan menganggap bahwa karakter si X itu emang nyebelin, dan branding si X sok cantik itu bisa terpatri dalam mindset aku. Ehmmmmm ini nih bisa masuk dalam pusaran arus negatif. Bahaya ngga sih?

Mari kita ulas. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali terjebak dalam aliran pemikiran negatif yang menghasilkan prasangka buruk terhadap orang lain. Saat kita ngomongin keburukan orang maka kita akan tesedot dalam arus negatif sehingga mindset kita sudah terlanjur buruk terhadap orang yang disebutkan tadi padahal kita belum mengenal lebih dalam.

Pemikiran-pemikiran ini dapat muncul dari pengalaman pribadi yang tidak menyenangkan, pengaruh lingkungan sekitar, atau bahkan dari kondisi emosional dan psikologis yang tidak stabil. Misalnya, contoh di atas. Atau kita mungkin pernah merasa dikecewakan oleh seseorang dalam masa lalu, dan hal itu membuat kita cenderung mencurigai atau menilai buruk orang-orang baru yang kita temui. Atau mungkin kita terpengaruh oleh stereotip dan prasangka sosial yang terjadi di sekitar kita, sehingga secara otomatis kita menilai orang berdasarkan faktor-faktor seperti ras, agama, atau latar belakang budaya.

Saat kita terperangkap dalam arus pemikiran negatif semacam itu, kita cenderung melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang sempit dan tidak objektif. Kita mulai membuat asumsi yang tidak berdasar dan memperbesar masalah ke dalam skenario yang lebih negatif daripada yang sebenarnya. Misalnya, jika seseorang terlambat dalam pertemuan, kita mungkin langsung berasumsi bahwa dia tidak menghargai waktu kita, tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain seperti kemacetan lalu lintas atau situasi darurat yang tidak terduga. Akibatnya, kita bisa memendam rasa marah atau kekesalan yang tidak perlu, dan ini dapat merusak hubungan kita dengan orang tersebut.

Ketika kita membiarkan pemikiran negatif ini mengendalikan pikiran kita, kita menjadi lebih curiga, skeptis, dan kurang percaya terhadap orang lain. Kita mungkin mulai mengisolasi diri atau menghindari interaksi sosial karena kita tidak merasa aman atau nyaman dengan orang lain. Hal ini bisa berdampak negatif pada kesejahteraan mental kita dan membuat kita merasa terisolasi dan tidak didukung dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, penting untuk diingat bahwa pemikiran negatif ini seringkali tidak didasarkan pada fakta yang kuat dan hanya merupakan cerminan dari kecemasan atau ketidakpastian dalam diri kita sendiri. Untuk mengatasi prasangka buruk ini, kita perlu belajar untuk mengenali dan menangani pemikiran negatif ini dengan bijaksana. Perlu adanya kesadaran diri, di mana kita secara aktif mengamati dan mengidentifikasi pemikiran negatif saat mereka muncul, dan kemudian mencoba untuk menantang dan mengubah keyakinan negatif kita dengan bukti yang lebih obyektif dan realistis.

Selain itu, kita juga dapat mengambil langkah-langkah praktis untuk memperbaiki prasangka buruk kita, seperti berusaha lebih terbuka dan toleran terhadap pandangan dan pengalaman orang lain, menghindari stereotip dan generalisasi yang tidak beralasan, dan berkomunikasi secara jujur dan terbuka dengan orang lain untuk memperjelas ketidakpastian atau ketidaknyamanan yang mungkin kita rasakan.

Dengan mengadopsi sikap yang lebih terbuka dan toleran terhadap orang lain, kita dapat membangun hubungan yang lebih kuat dan lebih bermakna serta menghadapi dunia dengan sikap yang lebih positif dan inklusif. Itulah sebabnya penting bagi kita untuk mengenali dan menangani prasangka buruk dan pemikiran negatif kita dengan hati-hati, sehingga kita dapat hidup dengan lebih damai dan harmonis dalam masyarakat yang beragam ini.



Oh ya, ada tambahan lagi, ini terkait pemikiran negatif kita yang digiring oleh komentar negatif orang lain, terlebih saat kita bermedia sosial. Lebih amannya memang kita hapus saja komentar tersebut, atau kalau itu adalah komentar di postingan orang lain ya skip saja. Karena bisa jadi satu komentar negatif itu sangat berbengaruh daripada ratusan komentar positif. Lho? Kok gak mau menerima kritik? Baperan?

Eitt, tunggu dulu, ini dia alasannya:

  • Kritik dan saran itu tidak dari semua orang, tapi dari yang berkompeten. Sebagaimana firman Allah di Qs. Al-A’raf ayat 199 “..dan jauhilah orang-orang yg bodoh” Orang-orang berilmu apabila memberikan kritik dan saran, tentu sudah paham adabnya. Mereka tidak akan menggunakan kalimat negatif. Jadi perlu filter juga mana saran yang baik untuk pengembangan diri kita.
  • Ketika komentar itu dihapus, artinya kita sudah memutus pusaran arus negatif. Tentu orang tersebut ya tidak mendapat dosa jariyah. Ya itung-itung berbuat baik ya buat nambah saldo pahala, heheheh.
  • Sebagai upaya menjaga pikiran kita dari hal-hal yang negatif. Bayangkan betapa lelahnya otak ini menimbun komentar negatif yang notabene bikin penuh pikiran kita. Lucu dan anehnya, banyaknya komentar positif itu dianggap biasa, tapi kalau ada satu komentar negatif itu lebih lama bertahan dipikiran. Mungkin ini juga satu di antara faedah dari Qs. Al-A'raf ayat 199 tadi kenapa kita dianjurkan menjauh dari orang-orang yang bodoh. Selain itu perlu kita renungi juga untaian hadist ini; "Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan akan menghapus keburukan sebelumnya dan pergaulilah manusia dengan pergaulan yang baik," (HR Tirmidzi)


Komentar

Posting Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah