Waktu itu di sebuah grup sekolah anakku, sedang membahas tentang bikin kaos yang akan dipakai buat piknik akhir tahun ajaran baru. Pembahasan memang sudah lama ada, dan untuk ukuran kaos belum diberikan detailnya. Terlebih ukuran anak-anak. Dalam pembahasan memang tidak disebutkan secara detail ukuran untuk anak-anak. Saat ada salah satu walmur yang memposting foto kaos sample yang dipakai oleh anaknya, lalu aku tanya, LD dan PB nya brp cm. Si ibu walmur, sebut saja walmur A, mengatakan bahwa ukurannya itu L, lalu beliau menyarankan kalau sebaiknya anakku pakai ukuran dibawahnya saja, yaitu M. Karena katanya memang anak tersebut lebih besar badannya daripada anakku. Dari sini, aku berterima kasih, karena berarti beliau sudah perhatian, tahu bentuk fisik anakku, sementara aku memang belum pernah lihat secara langsung anaknya.
Tapi aku masih belum puas, karena ukuran S, M,atau L pada sebuah produsen kaos itu berbeda-beda. Maka sekali lagi aku minta tolong diukurkan LD dan PB nya. Secara naluri, tahulah, emak-emak gak mau kaos yang dipesan hanya bisa dipakai dalam sekejap waktu karena ternyata kekecilan. Toh sudah sama-sama mengeluarkan uang, jadi wajarlah sekalian bisa dipakai dalam jangka waktu yang panjang, kalau bahasa jawanya mah, “ngundhuri gede” hehehe.
Lah, selang beberapa waktu, kok tiba-tiba ada walmur lain yang nyeletuk, yang intinya ngatain aku kalau aku ini “rempong” ribet mulu dari tadi nanyain ukuran itu, padahal yang lain santai-santai aja.
Oke, setelah baca chat walmur itu, aku tidak langsung membalas. Aku baca lagi, diam, dan berusaha menata pikiran, emosi tersulut? Iya karena jujur aku memang gak terima dia seenaknya ngatain gitu. Padahal memang aku gak kenal betul orang itu. Ketemu juga cuma sekilas di sekolah kalau pas kebetulan jemput bareng atau pas ada rapat. Itu pun gak pernah ngobrol. Kupikir, dia juga gak kenal betul sama aku, sampai kelepasan ngatain gitu. Menurutku lontaran itu kurang pas, seh. Tapi bisa juga bagi dia biasa aja. Tapi, karena kita dalam satu grup, seenggaknya bisakah ada etika sedikit saja?Atau malah aku yang keterlaluan? Aku tetap diam.Sejurus kemudian, aku japri walmur tadi. Aku mengungkapkan permintaan maafku kalau perkataanku ada yang keliru sampai membuatnya mengatakan rempong. Aku juga merasa tidak enak karena telah merepotkan. Tapi pesanku hanya muncul dua centang biru saja. Tak ada jawaban. Aku semakin merasa tidak enak. Sebegitukah berdosanya aku hanya menanyakan detail ukuran?????? Oke, aku merasa ini hanya buang-buang waktu saja. Mungkin dia ga bales karena sedang sibuk, sehingga belum ssempat balas chatku sudah tenggelam oleh chat lain. Jadi kuputuskan positif thingking saja. Lalu kumulai menata hati lagi. Melupakan apa yang telah terjadi. Sembari berevaluasi diri.
Aku jadi memflashback moment-moment sebagai ibu yang selama ini aku jalani. Rempong? Kalau dibilang menjadi emak rempong, ya, memang benar kan? Siapa di sini yang tidak pernah merasa repot saat menjadi ibu? Baru punya satu anak saja sudah banyak hal yang perlu dipersiapkan, hal yang perlu diurusi sudah bertubi-tubi, apalagi yang sudah punya anak lebih dari satu? Bisa dibayangkan gimana rempongnya?
Tapi serempong-rempongnya seorang ibu, dia sangat bahagia, tentu kerempongan inilah yang selalu dinanti. Saat awal menikah, impian menjadi seorang ibu adalah hal yang selalu ditunggu-tunggu. Lalu saat apa yang tengah diharapkan itu terealisasi, bukankah sudah seharusnya dinikmati?
Dulu aku paling rempong, saat anak bayi kutinggal kerja, aku harus memeras ASI. Sementara dia minum ASIP tidak pakai dot. Betapa rempongnya saat awal-awal dia nangis, tapi malah disuguhi gelas sloki. Untung waktu itu ibuku (yang mengasuh anakku) bisa telaten. Tentu di sini aku berterimakasih banget buat beliau. Ciuuumm dan pelukkkk. Tapi aku bangga karena dia bisa bebas dari dot, dan tidak bingung puting. Sehingga proses menyusui sampai 2 tahun bisa berjalan lancar tanpa aral yang melintang.
Itu hanya sebagian contoh kecil, lainnya tentu masih banyak hal yang bisa diceritakan, seperti kerempongan pakai popok cuci ulang, ajari dia toilet training, ngajari gimana ia mau makan sendiri, dan lain-lainnya.
Sekarang dia sudah besar, sudah masuk sekolah SD, tentu timbul lagi kerempongan yang berkelanjutan. Waw amazing deh.
So, seharusnya aku bangga sebagai emak rempong. Apalagi jika sudah bisa melihat perjuangan kerempongan masa-masa mendampingi anak saat bayi sampai balita, kerempongan yang pernah kulakukan itu seperti sebuah prestasi. Salam emak rempong 😍
Komentar
Posting Komentar