The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

Fokus Saja pada Rumputmu

Rumput tentangga lebih hijau. Pernah denger kan ungkapan seperti itu? Malah ga cuma rumput, halaman tetangga lebih luas, rumah lebih gede, properti lebih lengkap, kerjaan lebih perlente. Apalagi?? Hehhe.

Sebenernya draft tulisan ini udah lama bersarang dan tak kunjung dieksekusi sampai akhirnya hari ini akan kupublikasi. Bahkan sampai tulisan ini diselesaikan pun aku udah pindah tempat tinggal dan tak bisa lagi setiap hari memandangi rumput yang ada di gambar tersebut. Yaps, kurang lebih dua tahun yang lalu aku menangkap gambar itu. Sebuah landscap taman depan rumah kami yang sepintar terlihat "jembrung". Rumput liar yang tumbuh begitu subur, tampak merusak keindahan. Bagi mata yang memandang mungkin sepintas akan berkomentar, "sik duwe omah keset!" Wkwkwkwkw.

Aku memang males "mbubuti suket". Yang paling rajin ngurus rumput ya mbah kakung, beliau memakai semprotan pembasmi rumput yang sekali semprot bikin para rumput klepek2, layu, trus mengering. Beres deh, urusan rumput "jembrung".

Ngomong-ngomong jadi kangen ama rumput depan rumah. Pengen pulang, pengen ketemu keluarga, tapi kok denger-dengernya akhir tahun ada PPKM lagi. Yaaahhh...

Oh ya, kembali lagi ngomongin rumput.
Ungkapan "Rumput tetangga lebih hijau" merupakan kiasan, di mana kita sering merasa kok nikmat orang lain lebih banyak dari nikmat yang kita punya?

Nah, dari sini aja udah "rancu". Tahu nikmat banyak atau sedikit itu dari mana? Ngitungnya pake apa? Satuannya apa? Yakin bisa ngitung nikmat??

Nah, makanya, bener tuh kata Gus Baha, cara mensyukuri nikmat kita adalah dengan tidak melihat nikmat orang lain. Makanya, kenapa di awal aku melabeli judulnya "fokus aja pada rumputmu".

Iya, kita fokus aja pada hidup kita, pada progres hidup kita, pada setiap karunia, nikmat yang kita rasakan pada hidup kita.

Kalau mau tahu progres hidup kita, jangan hidup orang lain yang jadi tolok ukurnya. Lihat aja pada hidup kita yang dulu dan sekarang. Apakah target hidup kita tercapai? Apakah kita lebih banyak bersyukur? Apakah kita lebih produktif?

Betewe, aku nulis semua ini bukan untuk sok tahu atau mau menggurui, tapi hanya ingin mengingatkan diriku sendiri. So, bagaimanapun aku tetep berterimakasih udah berkunjung, dan membaca celotehan receh ini. Doakan semoga aku bisa menjadi lebih baik, begitu juga dengan dirimu.

See you😊 

Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang