Cerita Sebelumnya
Hari masih pagi, Sachi kembali ke kostnya berganti pakaian, dan pergi ke perpustakaan kampus untuk melengkapi referensi. Menapaki semester akhir ini memang hal yang tak bisa di anggap enteng. Dia masih menyimpan rasa dag dig dug kalau-kalau nanti Jojo bersikap ketus lagi. Pertemuan pertama dengannya tempo hari menyisakan trauma yang luar biasa. Belum pernah sebelumnya dia mendapat perlakuan ketus dari seorang lelaki. Kalau bukan karena demi lulus tepat waktu, rasanya mustahil mau bertemu.
Jam tangan Sachi sudah menunjuk pukul 14.54. Masih ada sisa waktu kurang lebih 1 jam untuk bersiap menemui Jojo. Mengingat jarak kampus dan rumah makan milik Jojo cukup jauh, dia segera berkemas. Namun memorinya kembali terganggu, dia lupa belum menanyakan tempat ketemuannya. Mengingat bahwa dulu Jojo pernah berpesan bahwa dia tidak mau ditemui di restorannya, dengan alasan tidak mau terganggu pekerjaannya.
Sachi segera mengambil ponselnya dan menelepon Raka. Lama tak ada jawaban, Sachi semakin gusar dalam posisi masih duduk di atas jok motornya. Mungkin saja Raka sedang sibuk melayani pembeli. Lelaki yang menjadi stafnya Jojo itu memang paling dipercaya. Raka mahasiswa seangkatannya yang mengambil kerja paruh waktu di tempat Jojo itulah yang memperkenalkannya pada Rumah Makan Bopo. Sebuah restoran unik yang menyediakan aneka masakan daun kelor.
Tak ada tanggapan dari Raka, Sachi langsung menyalakan motor maticnya, dan meluncur menuju Bopo. Tibalah Sachi di sebuah bangunan klasik, bernuansakan etnik jawa, dengan desain rumah joglo. Bopo yang berada di jalan kaliurang ini tetap banyak pengunjung. Usai memarkirkan motornya Sachi melihat ada dua sosok yang dia kenal duduk berbincang di taman yang berdampingan dengan lokasi parkir. Mendengar derup langkah sachi, dua sosok itu mengarah ke Sachi, lalu berdiri terkejut.
“Akung?” celetuk Sachi tak kalah kagetnya.
“Nak, kamu sudah makan? Ayo, sini, duduk. Menu di sini lezat sekali dan bergizi, lho.” Kake Sachi menyodorkan buku menu dengan penuh antusias, sementara Sachi dihinggapi kebingungan. Terlebih saat melihat wajah Jojo yang tetap dingin. Sejuta rasa was-was seakan bersekutu.
“Akung, kok bisa di sini?” Sedikit ragu dia bertanya untuk memecahkan tanda tanya besar dalam pikirannya.
“Iya, ini tujuan kedua Akung ke Jogja. Selain melepas rindu sama kamu, Akung juga ingin menebus rasa kangen dengan restoran ini. Restoran ini sangat bersejarah bagi hidup Akung,”
Sachi hanya ber-ooh saja mendengar penuturan kakeknya. Sementara dia masih kikuk ingin bertanya lebih detail pada kakeknya itu karena ada Jojo.
“Oh, iya, Nak Jojo. Ini cucu semata wayang saya. Dia kuliah di UNY dan sekarang sedang menyusun skripsi. Sedang galau karena menghadapi narasumber penelitiannya yang katanya kayak harimau yang siap menerkam, susah diajak kerjasama.”
Gubrakkk...
Penuturan Kakek sachi membuat sempurna penderitaannya di mata Jojo. Terlebih Jojo yang masih memasang wajah dingin membuatnya semakin tak karuan. Sepertinya dia bakal lama menyelesaikan skripsi. Andai saja, ada restoran kelor lain di negeri ini, memang lebih baik dia memilih pindah lokasi penelitian saja.
***
Akung tertawa terbahak-bahak ketika sampai di penginapan, Sachi menceritakan semuanya. Kegundahan Sachi semakin merajai, selalu saja ada halangan yang membuat tak terselesaikan tahap wawancara ini. Belum dimulai, tapi sudah banyak permasalahan baru.
“Nak, berjanjilah pada Akung. Kamu harus menyelesaikan tugas ini dengan sempurna. Kisah sejarah Bopo ini harus kamu kemas dengan apik. Kamu harus jaga baik-baik silaturahmi pemilik restoran itu.”
“Kenapa Akung jadi berubah pikiran? Apa hebatnya si pemilik restoran itu?” Sachi semakin tidak terima jika pada akhirnya Akungnya malah membela Jojo yang menyebalkan itu. Padahal dia sudah berniat ingin berganti judul saja.
“Kamu akan menemukan jawabannya saat sudah menyelesaikan penelitianmu ini.”
Sachi semakin bingung. Tapi masalah itu memang harus dihadapi, kalau dia memilih ganti judul artinya dia malah lari dari masalah. Dia tidak mau juga mengecewakan dosen pembimbingnya, dan juga kakeknya yang telah berharap penuh terhadap hasil penelitian ini.
***
Tujuh hari telah berlalu, tiba saatnya kakeknya Sachi kembali ke Sumatera. Kembali berkumpul dengan keluarga dan meninggalkan Sachi yang harus menyelesaikan tugas akhirnya. Sachi ikut membereskan semua barang-barang kakeknya. Berbagai oleh-oleh khas Jogja memenuhi bagasi mobil taksi yang akan membawanya ke bandara.
Tiba-tiba handphone Sachi berderit, ada pesan WA dari nomor asing.
“Bisa temui saya nanti jam 4 di Bopo.”
Pesan ini jelas bukan dari Raka, pikirnya. Lalu dia lihat foto profilnya, ada gambar restoran Bopo. Siapa lagi pasti ini Jojo. Dilihatnya penanda waktu di layar handphone, 30 menit lagi. Kacau, pikirannya kalut. Padahal dia harus mengantar kakeknya, jadwal penerbangan pukul setengah lima. Dia tidak ingin melepas moment keberangkatan kakeknya begitu saja. Tapi, kapan lagi bisa ketemu janjian lagi ketemu mengingat dia susah sekali ditemui.
“Maaf, saya harus mengantar kakek saya dulu.” Sachi akhirnya membalasnya, setelah melalui pertimbangan yang panjang. Entah apakah Jojo akan benar-benar marah, dia siap jika itu yang harus terjadi.
“Oke, saya tunggu.”
Tak disangka, jawaban Jojo seakan angin segar yang menerpa hawa panas di hatinya. Terasa sepoi-sepoi. Sungguh ini di luar dugaan.
***
Bandara baru yang ada di Kulon progo membuat jarak tempuh semakin lama. Setelah pesawat yang membawa kakeknya take off. Sachi segera berangkat menuju Bopo.
Hingga tiba magrib menjelang. Bopo sudah sepi. Pantas saja, restoran ini memang tutup jam 4. Raka dan teman-temannya pun sudah tak nampak. Hanya ada mobil Jojo yang terparkir di halaman.
Sedikit ragu Sachi melangkah memasuki Bopo. Suasana yang sepi ini serasa mencekam. Namun, lampu-lampu petromax yang mulai menyala menambah keindahan sensasi nuansa jawa. Sachi terus melangkah masuk melewati sebuah taman yang ada di tengah bangunan restoran, terlihat ada sebuah ruangan kaca yang mirip seperti kantor.
“Sudah datang?” Jojo muncul dari balik pintu yang ada di belakangnya, Sachi sedikit terkejut. Dilihatnya Jojo dengan kaos dan celana pendek. Tampak kasual dan lain dari biasanya. Terlihat lebih muda, tak menunjukkan bahwa usianya sudah kepala tiga.
“Silakan duduk,” Sachi menurut dan ini pertama kalinya melihat Jojo tampak ramah.
“Maaf, Mas Jojo, ternyata jarak bandara ke sini jauh sekali.”
“Tidak apa-apa. Kamu sudah makan?” tanya Jojo sembari menyodorkan sebuah kotak kardus bertuliskan Pizza Lezat Umami. Sachi masih menyakinkan dirinya sendiri bahwa yang sedang dihadapinya saat ini benar-benar Jojo.
“Terima kasih, Mas. Oh, ya bisa kita mulai wawancaranya?”
“Apa yang ingin kau tanyakan?”
“Sejarah Rumah Makan Bopo ini berdiri, Mas.”
“Apakah kakekmu belum memberitahumu?”
“Akung? Apa hubungannya? Beliau tidak bilang apa-apa.”
“Restoran ini sebenarnya sudah berdiri sejak tahun 90-an. Bermula dari usaha yang dijalankan kakek saya bersama sahabatnya. Dulu, Rumah Makan Bopo pernah terkenal dan sangat digemari oleh masyarakat Jogja. Namun karena sebuah musibah erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu, RM. Bopo hancur, dan kakek saya meninggal karena terpapar awan panas tersebut. Setelah kondisi membaik, akhirnya saya mulai merintis lagi usaha milik, sejak 3 tahun terakhir ini.” Jojo mulai bercerita.
Sachi mendengarkan dengan seksama sambil mencorat-coret di notesnya.
“Kamu tahu, mengapa restoran ini dinamakan Bopo?” Sachi menggeleng.
“Bopo itu diambil dari nama kakek saya Boiman dan nama sahabatnya itu, Poniran, kakek kamu.”
Mata Sachi terbelalak. Kaget minta ampun, dia tidak tahu menahu hal itu.
“Semenjak, kakek saya meninggal, kami kehilangan kontak. Kami juga berusaha mencari tahu keberadaan kakekmu. Dan sampai akhirnya, malah kakekmu sendiri yang mengetahui keberadaan Bopo dari internet.”
“Pantas, Akung berharap sekali saya bisa menyelesaikan tugas ini dengan baik.”
“Awalnya saya juga tidak mengira jika kamu adalah cucu dari sahabat kakek saya. Tapi ini keberuntungan juga, jadi kami tidak perlu susah payah mencari lagi keberadaanmu.”
“Mencari saya? Maksudnya?”
Jojo lalu beranjak dari kursinya, mengajak Sachi untuk mengikutinya menuju rak buku. Lelaki jangkung berambut cepak itu mengambil sebuah buku bersampul coklat. Dibukanya sebuah lembaran halaman, lalu ia sodorkan pada Sachi.”
“Kamu bisa baca tulisan ini.”
Perlahan-lahan Sachi mengeja kata demi kata. Dia tak asing dengan goresan tinta yang menguntainya itu, tulisan tangan akungnya.
Apapun yang terjadi, Bopo harus tetap ada. Kita nikahkan saja Jojo dan Sachi agar persahabatan kita abadi.
Kaliurang, 12 April 2009
Tertanda
Boiman & Poniran
Sachi terperanjat. Tak tahu harus berkata apa. Mulutnya seakan terkunci. Seakan tak percaya dengan apa yang barusan dibacanya.
“Sama seperti kamu, awalnya saya bingung. Tak tahu harus berbuat apa-apa. Buku ini ditemukan saat evakuasi. Bopo benar-benar hancur, sehancur perasaan keluarga besar kami karena kehilangan beliau.”
“Kakek Boiman meninggal?”
“Iya, seketika itu Kakek meninggal akibat tertimpa awan panas.”
Sachi menangkap sorot kesedihan Jojo. Dia tahu pasti ada hubungan dekat antara kakek dan cucu ini, seperti halnya dia dan akungnya.
Jojo kembali duduk, dan menyeruput secangkir kopi yang sedari tadi belum disentuhnya. Sachi mulai memperhatikan lelaki yang di depannya itu dengan perspektif yang berbeda. Bagaimana mungkin jika dia harus menikah dengan lelaki yang sebelumnya sangat menyebalkan ini.
“Sachi, sebaiknya, segera kamu selesaikan tugas akhirmu ini. Agar kita bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya,”
“Tahap selanjutnya?”
“Iya, kita penuhi janji kakek kita, jika kamu berkenan,” ungkap Jojo. Entah sudah keberapa kali jantung Sachi dibuat tak karuan di tempat ini. Hatinya goyah, pikirannya semakin kalut.
Hening. Tak ada ucapan apa-apa. Semua seperti terhanyut dalam dimensi pikiran masing-masing. Lantas mereka bisa apa? Apa yang bisa diperbuat? Selain patuh dan taat kepada kakek tercinta mereka. Ah, gara-gara Bopo.
-SELESAI-
Lanjutkan
BalasHapus