Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Gara-Gara Bopo (Bagian 2)


Cerita Sebelumnya

“Nak, kamu kenapa kok wajahnya kayak gak pernah disetrika?”

“Akung, apaan sih. Emang baju?”

“Iya, kusut.” Kakeknya terkekeh, sementara Sachi masih tetap dengan ekspresi semula.

“Aku nggak jadi melakukan riset gara-gara terlambat ketemu bosnya si pemilik restoran, Kung. Orangnya galak, judes kaya harimau yang siap menerkam mangsanya.

“Maaf, pasti gara-gara jemput Akung ya, kamu jadi kehilangan kesempatan tugas pentingmu.”

“Ya, nggak gitu, Kung. Bagiku Akung juga penting,” Sachi lalu memeluk kakeknya. Kakeknya yang selalu disebut akung itu tersenyum tulus dan membalas pelukan cucu semata wayangnya. Sudah hampir 3 tahun dia tidak mendapatkan pelukan seperti ini, terakhir mereka berpelukan saat melepaskan kepergiannya untuk melanjutkan kuliah di Yogya.

“Apa yang bisa kakek perbuat untuk membantu tugas akhirmu ini, Nak?”

Sachi hanya menggelengkan kepala dia juga bingung.

“Kalau narasumber kamu susah diajak kerja sama ganti tempat penelitian saja.” Saran Kakek Sachi ada benarnya, hanya saja, gadis berpipi cubby itu masih ragu jika harus ganti objek penelitian maka harus ganti judul lagi. Ini hal yang sulit, mengingat bahwa dosen pembimbingnya sudah terlanjur menyetujui dan berharap banyak pada hasilnya nanti.

“Pengaruh bubur kelor dalam menunjang kesadaran masyarakat agar rajin mengkonsumsi sayuran ini sangat prospekting, Sachi. Kamu harus menyelesaikan penelitian ini dengan sempurna. Bapak sangat berharap kamu dapat memberikan hasil terbaik untuk jurusan kita nanti,” ucapan Pak Bisma, dosen pembimbingnya selalu terpatri dalam pikiran Sachi.

                          ***

Hari telah berganti, Sachi kembali mengemasi barang-barangnya. Disapukan semua pandagannya ke arah sudut kamar, memastikan tak ada barang penting yang tertinggal, lalu bersiap menghubungi Raka. Berharap ada sebuah keajaiban sehingga Jojo mau ditemui.

“Mau kemana, Nak?” tanya Akung saat Sachi keluar dari kamarnya.

“Melanjutkan penelitian, Kung.”

“Perlu, Akung temani?”

Sachi menggeleng cepat. Dia tidak mau kakeknya ini terlibat dalam permasalahannya.

“Segera hubungi Akung, ya kalau butuh sesuatu. Dan jangan lupa ke sini lagi.”

Setelah berpamitan, Sachi pergi meninggalkan rumah penginapan yang telah disewa akungnya selama sepekan.

“Mas Jojo bisa ditemui jam empat sore nanti. Jangan sampai terlambat lagi.” Pesan WhatsApp dari Raka membinarkan mata Sachi.  

BERSAMBUNG


Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah