Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Nikmati Proses, Kurangi Protes

Bulan ini masih bernuansa kemerdekaan kan ya. Betewe tema kemerdekaan tahun ini cucok banget utk diriku. Tangguh dan tumbuh. 
Sudah lama rasanya bumi kita prihatin atas musibah yang menimba. Oh corona.

Oh iya ngomong-ngomong aku belum pernah mengulas tentang corona di blog ini. Padahal sudah hampir 2 tahun kita menghadapinya. Ahh ini aku yang keterlaluan terlena sampai lupa menuliskannya, atau memang aku tak mau membahas itu?? 

Ehmm...memang sih adanya corona ini menuai banyak pemahaman. Oke, tapi aku gak mah bahas soal banyaknya pemahaman itu. Hanya saja aku mau mengulas soal pendapatku saja, meskipun pendapatku pasti ada yang gak setuju.

Eh ngomong-ngomong tentang "ketidak setujuan", bukan cuma soal corona, kadang pemikiran yang lain, ada juga yang menentang. Yaahh namanya juga hidup di dunia. Ada banyak manusia, ada banyak akal dan pikiran mereka ya wajar saja. Aku toh juga gak mungkin bisa menjadi apa yang mereka mau kan ya. Yang mungkin bisa dilakukan ialah "menerima". (mengulas lagi di potingan sebelumnya)

Yups, "Nrimo". Terdengar simple. Tapi susah pada praktiknya. Bayangkan saja, apa mudah kita menerima begitu saja pemberlakuan pembatasan sosial yang setiap periode diperpanjang???
Apa mudah kita menerima, anak-anak gak sekolah, gak ketemu gurunya, belajar ngabisin kuota, yang pada akhirnya bikin mereka kecanduan gadget??

Apa mudah menerima? para karyawan yang dirumahkan? Apa mudah menerima? para pengusaha yang kehilangan banyak omset bahkan ada yang bangkrut? Lalu apa mudah menerima mereka yang kehilangan keluarga tercinta yang terenggut nyawanya karena melawan corona??? Apa mudah?

Tidak. Kurasa itu tidak mudah. Tapi, apa yang bisa kita lakukan selain "nrimo" itu tadi??

Terlepas ada konspirasi atau bukan, penderitaan yang dialami masyarakat Indonesia ini tak lepas dari kuasa Allah SWT. Sebagai orang yang beriman tentu kita udah percaya bahwa apa yang terjadi di dunia ini tak pernah lepas dari ketentuan-Nya. Perbanyak bersyukur tentunya. So, sekarang saatnya kita menikmatinya, kurangi protesnya. 

Mungkin tulisan ini tak mengandung solusi. Tapi jika ada yang bersedia mampir ke sini, ini sungguh apresiasi. Akhir kata, terima kasih sudah membaca :)

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah