Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Dahsyatnya Kata Maaf

Senin biasanya menjadi hari yang hectic. Iya ga? Padahal sebenarnya ya sama kayak hari-hari biasanya. Tapi entah mengapa hari Senin seperti dijadikan hari yang "istimewa". Ya se-istimewa hari ini. 

Ceritanya, begini.

Pagi sekali kami sudah tiba di sekolah. Terpampang angka 06.20 di layar mesin finger. Suasana masih sepi. Tapi hatiku seakan gaduh. Sebab, tas sekolah Salman lupa tidak dibawa. Begitu turun dari motor, si dia baru menyadari bahwa tasnya tak ada di depan mata. Sementara Ayah sudah melaju pergi selepas kami berpamitan tadi. Lalu Emak bisa apa? baru aja sampai harus kembali? Mana ga ada motor lagi. Heran deh, kenapa juga ini anak sekolah sampai lupa ga bawa tas? Pagi-pagi bikin emosi. 

"Ga papa, Buk, ga bawa tas, kan nanti cuma PTS ga pelajaran," ucap si dia dengan entengnya. Sementara pikiranku sudah meraja lela kemana-mana. Sudah sejak tadi malam kusiapkan segala buku, kartu ujian dan barang yang harus dibawa (termasuk orderan mama temennya yang aku titipkan melalui dia๐Ÿคญ๐Ÿ˜€)

"Tapi kan ga bawa kartu, nanti ga boleh ikut ujian!" jawabku dengan sedikit nada tinggi.

Lalu dia hanya diam. Perihal kartu mungkin bisa saja aku minta pemakluman, secara gurunya, rekan sendiri. Tapi aku ga mau melakukan itu. Aku tetep harus mengajarkan bagaimana bertanggung jawab. Dan aku gak mau anakku "dikecualikan" hanya karena ibuknya kerja di sana.

Ngomong-ngomong soal tanggung jawab, sebenernya aku juga turut terlibat atas tidak terbawanya tas dia. Biasanya memang saat berangkat naik motor, tas itu aku yang bawa. Hanya saja dia yg membawa keluar rumah lalu diserahkan ke aku. Namun kali ini bener-bener "lali kepleng".

Setelah meletakkan tas di kantor, aku duduk sebentar sambil mengatur napas. Dada ini masih menyimpan sesak. Ada-ada aja bikin tambah pikiran. Balik lagi apa gak ya? Batinku masih beradu. Jadwal masuk kelas masih jam 8, itu artinya masih ada sisa waktu 1 jam lebih. Kayaknya sayang kalau gak dimanfaatkan buat balik lagi ambil tas. Pikirku.

Sementara si dia masih diam ikutan duduk di sampingku, seakan tak berani mengajak bicara karena bisa saja emosiku belum mereda. Tapi memang belum. Pagi ini rasane masih "mangkel". 

Tapi emosi aja ga bisa ngasih solusi, akhirnya aku berinisiatif untuk balik pulang, meminjam motor rekan. Dengan nuansa yang masih sepi aku mencari-cari, siapa yang kira-kira motornya boleh dipinjami.

Kebanyakan para ikhwan yang sudah datang, lalu kutanya salah satu dari mereka, tapi sayangnya motor mereka motor laki yang gede, dan tentunya gak avaible buat diriku yang imut-imut ini.

Alhasil, Allah seakan membantu jalanku, ada seorang rekan yang merekomendasikan motor matic rekan lainnya. Alhamdulillah, cuss dan tancap gas deh kembali ke rumah.

Oke, gak sampai 30 menit bolak balik. Aku udah kembali ke sekolah. Suasana sudah mulai ramai. Barisan motor sudah memenuhi parkiran, dan aku segera mengembalikan kunci kontak ke pemiliknya sembari mengucap terimakasih yang tak terhingga, serta mendoakan beribu kebaikan untuknya. 

Kembali lagi ke kantor, aku bertemu dengan si dia, di luar lagi main sama temen-temennya. Awalnya dia ga tahu kalau emaknya balik lagi, makanya saat aku datang menenteng tas dinosaurusnya dia seakan takjub dan semringah. Tapi aku masih berusaha cuek, berharap dia tahu bahwa emaknya ini udah berjuang demi dia (eaaaa) dan jangan sampai menggampangkan serta tidak mengandalkan orang lain mulu.

Lalu dia kembali ke kelas bersama teman-temannya. Aku pun kembali ke meja kerjaku, dan kaget melihat ada selembar kertas sobekkan bertuliskan seperti ini.
Bak ada guyuran air yang memadamkan kobaran api. Aku langsung tertunduk lesu sembari memandangi. Rasa bersalah seakan menggelayuti. Bahkan sebelumnya aku tak berpikir dia bisa mengatakan ini. Seperti ada tarikan dalam hati, yang mengundang tetesan air mata di pipi.

Rasanya pengen menampar diri. Emak macam apa ini? Katanya segala yang terjadi dalam hidup ini adalah ketentuan Ilahi, tapi mengapa hal sekecil ini aja naik emosi. 

Sungguh kata maaf ini seperti memiliki kekuatan dahsyat yang bisa menghempaskan amarah, sehingga hati tak lagi gundah. 

Teruntuk si dia, si buah hati. Terimakasih telah mengajarkan banyak hal dalam hidup ini. 

Dan teruntuk para pembaca, terimakasih sudah mau menyimak ceritaku hari ini. ๐Ÿ™๐Ÿ˜Š

Sampai jumpa dengan cerita-cerita yang berbeda lainnya. See You

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah