The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

Dahsyatnya Kata Maaf

Senin biasanya menjadi hari yang hectic. Iya ga? Padahal sebenarnya ya sama kayak hari-hari biasanya. Tapi entah mengapa hari Senin seperti dijadikan hari yang "istimewa". Ya se-istimewa hari ini. 

Ceritanya, begini.

Pagi sekali kami sudah tiba di sekolah. Terpampang angka 06.20 di layar mesin finger. Suasana masih sepi. Tapi hatiku seakan gaduh. Sebab, tas sekolah Salman lupa tidak dibawa. Begitu turun dari motor, si dia baru menyadari bahwa tasnya tak ada di depan mata. Sementara Ayah sudah melaju pergi selepas kami berpamitan tadi. Lalu Emak bisa apa? baru aja sampai harus kembali? Mana ga ada motor lagi. Heran deh, kenapa juga ini anak sekolah sampai lupa ga bawa tas? Pagi-pagi bikin emosi. 

"Ga papa, Buk, ga bawa tas, kan nanti cuma PTS ga pelajaran," ucap si dia dengan entengnya. Sementara pikiranku sudah meraja lela kemana-mana. Sudah sejak tadi malam kusiapkan segala buku, kartu ujian dan barang yang harus dibawa (termasuk orderan mama temennya yang aku titipkan melalui diaπŸ€­πŸ˜€)

"Tapi kan ga bawa kartu, nanti ga boleh ikut ujian!" jawabku dengan sedikit nada tinggi.

Lalu dia hanya diam. Perihal kartu mungkin bisa saja aku minta pemakluman, secara gurunya, rekan sendiri. Tapi aku ga mau melakukan itu. Aku tetep harus mengajarkan bagaimana bertanggung jawab. Dan aku gak mau anakku "dikecualikan" hanya karena ibuknya kerja di sana.

Ngomong-ngomong soal tanggung jawab, sebenernya aku juga turut terlibat atas tidak terbawanya tas dia. Biasanya memang saat berangkat naik motor, tas itu aku yang bawa. Hanya saja dia yg membawa keluar rumah lalu diserahkan ke aku. Namun kali ini bener-bener "lali kepleng".

Setelah meletakkan tas di kantor, aku duduk sebentar sambil mengatur napas. Dada ini masih menyimpan sesak. Ada-ada aja bikin tambah pikiran. Balik lagi apa gak ya? Batinku masih beradu. Jadwal masuk kelas masih jam 8, itu artinya masih ada sisa waktu 1 jam lebih. Kayaknya sayang kalau gak dimanfaatkan buat balik lagi ambil tas. Pikirku.

Sementara si dia masih diam ikutan duduk di sampingku, seakan tak berani mengajak bicara karena bisa saja emosiku belum mereda. Tapi memang belum. Pagi ini rasane masih "mangkel". 

Tapi emosi aja ga bisa ngasih solusi, akhirnya aku berinisiatif untuk balik pulang, meminjam motor rekan. Dengan nuansa yang masih sepi aku mencari-cari, siapa yang kira-kira motornya boleh dipinjami.

Kebanyakan para ikhwan yang sudah datang, lalu kutanya salah satu dari mereka, tapi sayangnya motor mereka motor laki yang gede, dan tentunya gak avaible buat diriku yang imut-imut ini.

Alhasil, Allah seakan membantu jalanku, ada seorang rekan yang merekomendasikan motor matic rekan lainnya. Alhamdulillah, cuss dan tancap gas deh kembali ke rumah.

Oke, gak sampai 30 menit bolak balik. Aku udah kembali ke sekolah. Suasana sudah mulai ramai. Barisan motor sudah memenuhi parkiran, dan aku segera mengembalikan kunci kontak ke pemiliknya sembari mengucap terimakasih yang tak terhingga, serta mendoakan beribu kebaikan untuknya. 

Kembali lagi ke kantor, aku bertemu dengan si dia, di luar lagi main sama temen-temennya. Awalnya dia ga tahu kalau emaknya balik lagi, makanya saat aku datang menenteng tas dinosaurusnya dia seakan takjub dan semringah. Tapi aku masih berusaha cuek, berharap dia tahu bahwa emaknya ini udah berjuang demi dia (eaaaa) dan jangan sampai menggampangkan serta tidak mengandalkan orang lain mulu.

Lalu dia kembali ke kelas bersama teman-temannya. Aku pun kembali ke meja kerjaku, dan kaget melihat ada selembar kertas sobekkan bertuliskan seperti ini.
Bak ada guyuran air yang memadamkan kobaran api. Aku langsung tertunduk lesu sembari memandangi. Rasa bersalah seakan menggelayuti. Bahkan sebelumnya aku tak berpikir dia bisa mengatakan ini. Seperti ada tarikan dalam hati, yang mengundang tetesan air mata di pipi.

Rasanya pengen menampar diri. Emak macam apa ini? Katanya segala yang terjadi dalam hidup ini adalah ketentuan Ilahi, tapi mengapa hal sekecil ini aja naik emosi. 

Sungguh kata maaf ini seperti memiliki kekuatan dahsyat yang bisa menghempaskan amarah, sehingga hati tak lagi gundah. 

Teruntuk si dia, si buah hati. Terimakasih telah mengajarkan banyak hal dalam hidup ini. 

Dan teruntuk para pembaca, terimakasih sudah mau menyimak ceritaku hari ini. πŸ™πŸ˜Š

Sampai jumpa dengan cerita-cerita yang berbeda lainnya. See You

Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang