Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Kisah dari Sekantong Jagung


Sebelum hujan mengguyur dan sambaran petir yang menggelegar, aku ditawari seorang teman untuk mengambil jagung sisa dari acara camping kemarin.

Jiwa emak mulai meronta saat ditawari hal semacam itu. Iya gak sih?

Bergegaslah aku mengambilnya, lalu kumasukkan tumpukan jagung yang masih menggunung ke dalam kantong kresek hitam yang telah disediakan. Aku gak mengambil banyak, hanya sekitar 5 buah kalau gak salah. Toh hanya dimakan berdua. Eh iya berdua, karena si dia gak suka 🤭.

Usai mengemasi jagung aku kembali ke aktivitasku, tapi karena hujan mulai deras, dan aku harus memegang payung serta sebuah map arsip maka kutinggalkan kresek hitam itu di atas rak sepatu, dan berencana akan kuambil kalau mau pulang nanti.

Suasana sore itu memang cukup mencekap, aliran air yang begitu besar seakan akan menerjang masuk teras perpustakaan. Eh aku jadi ingat insiden sandal yang hilang. Tak mau mengulang hal yang sama, agar tidak hanyut, entah sandal/sepatu siapa saja langsung kuangkat ke dalam. Kebetulan memang di dalam ada siswa yang kunjungan literasi. Tak disangka tiba-tiba listrik padam setelah ada kilatan petir yang menyilaukan. Cukup lama sampai akhirnya aku lupa perihal jagung yang kutinggalkan tadi. 

Singkat cerita, aku lupa membawanya pulang. Sampai di rumah baru ingat. Ya sudah tak apa, toh besok masih masuk kerja, kalau masih rejeki pasti masih ada.

Tapi ternyata, pagi ini, tak kutemui barang yang kucari. Di atas rak sepatu itu kosong tak ada benda apapun.

Sedikit kecewa. Padahal besok libur, kan bisa bikin pesta jagung. Oke, kecewa sedikit aja. Halowww, ini hanya soal jagung, jangan lebay. Anggap aja memang belum rejeki. 

Tak lama kemudian, aku bertemu dengan rekan OB, kucoba tanyakan hal itu, karena biasanya urusan macam begini tim mereka yang tahu. Tapi ternyata dia sendiri gak tahu, dan perihal tumpukan jagung yang kemarin menggunung memang sudah habis.

Okelah. Sudah tidak harapan. Memang harus diikhlaskan.

Tak berselang lama, tiba-tiba ada rekan OB yang lain datang ke kantor,
"Miss kemarin kehilangan jagung ya? Ini masih ada sisa kalau mau. Tapi gak banyak," ucapnya sambil  menyerahkan sebuah tas besar yang berisikan jagung yang isinya lebih dari apa yang kemarin aku ambil.

Wuihhh emak langsung semringah dong dan tentunya berterimakasih banget sama rekan OB yang begitu peduli. Aku doakan semoga cepat mendapatkan istri. hihi 

Dari cerita ini, aku seakan sedang mengimplementasikan apa yang diungkapkan oleh Umar bin Khatab r.a bahwa "Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku."

Seperti apa yang udah aku share di sebuah platform baru-baru ini, silakan meluncur ke sini 😍

Terima kasih ya sudah mampir dan sudah membaca. Semoga bisa diambil manfaatnya. Sampai ketemu di cerita selanjutnya. 😊

#celotehkada
#jagungmanis
#KisahInspiratif

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah