The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

Berhenti Mengikuti



Ada seorang kerabat (bukan artis/selebgram) yang berpendapat, bahwa dia merasa insecure ketika jumlah pengikutnya lebih sedikit daripada jumlah yang diikuti. Lalu karena sedikit terpengaruh, aku mencoba memfilter lagi, akun mana yang perlu aku unfollow agar tidak terlihat timpang antara yang mengikuti dan pengikut. Selain menganut paham kerabatku tadi, aku juga merasakan dampak yang kurang bermanfaat ketika melihat sebuah postingan orang-orang yang tak kukenal, atau yang tak berfaedah bagi diriku. Terlebih akun-akun artis. Mengikutinya hanya membuatku seakan gila dengan kemewahan dunia, sehingga bawaannya baper, lupa bersyukur dan berujung sensi tingkat tinggi. Jadi, untuk menjaga kewarasan ini, maaf, aku berhenti mengikuti.

Siapa sih yang gak punya akun sosial media? Ehmm aku rasa mayoritas manusia di bumi ini memilikinya. Bahkan yang belum mencapai batas umur minimal ada sudah ada yang punya. Di era seperti saat ini, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari seseorang. Khususnya media sosial yang begitu populer seperti Instagram, memiliki peran yang besar dalam kehidupan banyak orang saat ini. Begitu banyak orang yang menghabiskan waktu di sana dan berbagi cerita serta postingan yang menarik menurut mereka.

Akan tetapi, seringkali hal tersebut menjadi suatu masalah tersendiri bagi sesama pengguna media sosial. Jika ada yang merasa hidupnya tidak seindah dan seberuntung orang-orang yang ia lihat di media sosial, maka muncullah perasaan iri, insecure, dan membuat perbandingan. Hal ini malah bisa menjadi masalah yang mengganggu kesehatan mental kebanyakan orang saat ini.

Tak heran jika gejala stres mulai meningkat, karena beberapa postingan yang mengaduk-aduk perasaan negatif. Malah ada juga yang jadi kesulitan tidur di malam hari diakibatkan karena menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial menelusuri konten atau story sambil membandingkan diri dengan selebritas, teman, atau bahkan keluarga. 

Terus-menerus membandingkan diri sendiri dengan orang lain seperti teman sendiri atau bahkan influencer merupakan hal yang sangat berbahaya bagi kesehatan mental.

Mungkin, barangkali aku berpikir bahwa tidak ada salahnya mengikuti berbagai akun yang menginspirasi. Akan tetapi, jika mendapati diri terus-menerus jatuh ke dalam spiral perbandingan, tentu hal tersebut akan menimbulkan efek yang lebih serius bagi mental.

Sesuatu yang berlebihan memang tidaklah bagus.Terlalu berlebihan menggunakan sosial media membuat kita merasa butuh kesempurnaan. Saat scrool media sosial maka kita akan disuguhi kehidupan yang ditampilkan oleh orang-orang di sana terlihat begitu sempurna. Seseorang yang memposting foto lucu, suami/istri yang menawan dengan latar rumah yang mewah dan estetik tentu tidak bisa mengintpretasikan bahwa hidupnya sempurna.

Penting untuk direnungkan agar lebih bisa memetakan kembali pertemanan di sosmed agar mental lebih waras. Yaitu salah satunya dengan cara hanya memilih untuk mengikuti akun yang penting dan yang memberi pengaruh positif dalam hidup kita saja. Untungnya ada fitur "Berhenti Mengikuti" yang biasa ditemukan pada aplikasi sosial media. Begitu juga dengan istilah mengikuti dan diikuti. 

Aku, sebagai manusia biasa, lebih banyak "mengikuti" daripada "pengikut". wkwkwk. Sementara, artis atau selebgram, lebih banyak "pengikut" daripada "mengikuti". Yo wis ben lah kan memang publik figure. Bahkan jaman sekarang follower sudah menjadi aset bagi mereka. Sesuatu yang penting gitu. Aku sendiri merasakan bisa punya follower ribuan aja ngos-ngosan, ibaratnya gitu. Yang nge-like cuma bijian aja sudah seneng. Ya, maklum kan orang biasa.

Berhenti mengikuti media sosial bisa memiliki dampak baik dan buruk tergantung pada bagaimana kita mengelolanya dan bagaimana dampak tersebut dikelola. Dampak baiknya seperti menjadikan kesehatan mental yang lebih baik, karena bisa saja dengan mengurangi paparan terhadap konten yang mungkin memicu kecemasan, depresi, atau perasaan tidak kuat dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang.

Selain itu kita bisa lebih fokus. tanpa gangguan dari notifikasi atau scroll tak terbatas, kita mungkin dapat fokus lebih baik pada pekerjaan, studi, atau kegiatan yang lebih bermanfaat. Dengan tidak menghabiskan waktu untuk menggulir beranda di media sosial, kita mungkin memiliki lebih banyak waktu untuk mengejar hobi, olahraga, atau kegiatan lain yang memberikan kepuasan. Dengan demikian kita lebih menikmati hidup, menghabiskan waktu untuk diri sendiri, tanpa terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, dapat meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Perlu kita pahami bersama bahwa "berhenti mengikuti" pertemanan di media sosial adalah langkah yang bersifat pribadi dan dapat bervariasi bagi setiap orang. Yang paling penting adalah bahwa kita merasa nyaman dengan pengaturan yang dibuat dan bahwa itu membantu mengelola penggunaan media sosial dengan lebih bijak serta memprioritaskan hubungan yang lebih bermakna dalam hidup ini.




Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang