Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Berhenti Mengikuti



Ada seorang kerabat (bukan artis/selebgram) yang berpendapat, bahwa dia merasa insecure ketika jumlah pengikutnya lebih sedikit daripada jumlah yang diikuti. Lalu karena sedikit terpengaruh, aku mencoba memfilter lagi, akun mana yang perlu aku unfollow agar tidak terlihat timpang antara yang mengikuti dan pengikut. Selain menganut paham kerabatku tadi, aku juga merasakan dampak yang kurang bermanfaat ketika melihat sebuah postingan orang-orang yang tak kukenal, atau yang tak berfaedah bagi diriku. Terlebih akun-akun artis. Mengikutinya hanya membuatku seakan gila dengan kemewahan dunia, sehingga bawaannya baper, lupa bersyukur dan berujung sensi tingkat tinggi. Jadi, untuk menjaga kewarasan ini, maaf, aku berhenti mengikuti.

Siapa sih yang gak punya akun sosial media? Ehmm aku rasa mayoritas manusia di bumi ini memilikinya. Bahkan yang belum mencapai batas umur minimal ada sudah ada yang punya. Di era seperti saat ini, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari seseorang. Khususnya media sosial yang begitu populer seperti Instagram, memiliki peran yang besar dalam kehidupan banyak orang saat ini. Begitu banyak orang yang menghabiskan waktu di sana dan berbagi cerita serta postingan yang menarik menurut mereka.

Akan tetapi, seringkali hal tersebut menjadi suatu masalah tersendiri bagi sesama pengguna media sosial. Jika ada yang merasa hidupnya tidak seindah dan seberuntung orang-orang yang ia lihat di media sosial, maka muncullah perasaan iri, insecure, dan membuat perbandingan. Hal ini malah bisa menjadi masalah yang mengganggu kesehatan mental kebanyakan orang saat ini.

Tak heran jika gejala stres mulai meningkat, karena beberapa postingan yang mengaduk-aduk perasaan negatif. Malah ada juga yang jadi kesulitan tidur di malam hari diakibatkan karena menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial menelusuri konten atau story sambil membandingkan diri dengan selebritas, teman, atau bahkan keluarga. 

Terus-menerus membandingkan diri sendiri dengan orang lain seperti teman sendiri atau bahkan influencer merupakan hal yang sangat berbahaya bagi kesehatan mental.

Mungkin, barangkali aku berpikir bahwa tidak ada salahnya mengikuti berbagai akun yang menginspirasi. Akan tetapi, jika mendapati diri terus-menerus jatuh ke dalam spiral perbandingan, tentu hal tersebut akan menimbulkan efek yang lebih serius bagi mental.

Sesuatu yang berlebihan memang tidaklah bagus.Terlalu berlebihan menggunakan sosial media membuat kita merasa butuh kesempurnaan. Saat scrool media sosial maka kita akan disuguhi kehidupan yang ditampilkan oleh orang-orang di sana terlihat begitu sempurna. Seseorang yang memposting foto lucu, suami/istri yang menawan dengan latar rumah yang mewah dan estetik tentu tidak bisa mengintpretasikan bahwa hidupnya sempurna.

Penting untuk direnungkan agar lebih bisa memetakan kembali pertemanan di sosmed agar mental lebih waras. Yaitu salah satunya dengan cara hanya memilih untuk mengikuti akun yang penting dan yang memberi pengaruh positif dalam hidup kita saja. Untungnya ada fitur "Berhenti Mengikuti" yang biasa ditemukan pada aplikasi sosial media. Begitu juga dengan istilah mengikuti dan diikuti. 

Aku, sebagai manusia biasa, lebih banyak "mengikuti" daripada "pengikut". wkwkwk. Sementara, artis atau selebgram, lebih banyak "pengikut" daripada "mengikuti". Yo wis ben lah kan memang publik figure. Bahkan jaman sekarang follower sudah menjadi aset bagi mereka. Sesuatu yang penting gitu. Aku sendiri merasakan bisa punya follower ribuan aja ngos-ngosan, ibaratnya gitu. Yang nge-like cuma bijian aja sudah seneng. Ya, maklum kan orang biasa.

Berhenti mengikuti media sosial bisa memiliki dampak baik dan buruk tergantung pada bagaimana kita mengelolanya dan bagaimana dampak tersebut dikelola. Dampak baiknya seperti menjadikan kesehatan mental yang lebih baik, karena bisa saja dengan mengurangi paparan terhadap konten yang mungkin memicu kecemasan, depresi, atau perasaan tidak kuat dapat meningkatkan kesehatan mental seseorang.

Selain itu kita bisa lebih fokus. tanpa gangguan dari notifikasi atau scroll tak terbatas, kita mungkin dapat fokus lebih baik pada pekerjaan, studi, atau kegiatan yang lebih bermanfaat. Dengan tidak menghabiskan waktu untuk menggulir beranda di media sosial, kita mungkin memiliki lebih banyak waktu untuk mengejar hobi, olahraga, atau kegiatan lain yang memberikan kepuasan. Dengan demikian kita lebih menikmati hidup, menghabiskan waktu untuk diri sendiri, tanpa terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain di media sosial, dapat meningkatkan kepuasan dan kesejahteraan secara keseluruhan.

Perlu kita pahami bersama bahwa "berhenti mengikuti" pertemanan di media sosial adalah langkah yang bersifat pribadi dan dapat bervariasi bagi setiap orang. Yang paling penting adalah bahwa kita merasa nyaman dengan pengaturan yang dibuat dan bahwa itu membantu mengelola penggunaan media sosial dengan lebih bijak serta memprioritaskan hubungan yang lebih bermakna dalam hidup ini.




Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah