The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

Pantaskah Kita Insecure?



Pernahkah kita merasa tidak berharga? Insecure, istilah yang sering kita gunakan, adalah perasaan di mana kita meragukan diri sendiri dan merasa tidak cukup baik dibandingkan orang lain. Tetapi, pernahkah kita merenung, bahwa ketika merasa demikian, sebenarnya kita telah mempertanyakan kesempurnaan ciptaan Allah? Allah berfirman dalam Al-Qur'an:

"Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."
(QS. At-Tin: 4)

Jika Allah yang Maha Sempurna menciptakan kita dalam bentuk terbaik, lalu mengapa kita meragukan itu? Bukankah itu sama saja dengan merendahkan kesempurnaan-Nya? Naudzubillah, dosa besar jika kita sampai memandang rendah ciptaan Allah, apalagi diri sendiri.

Tidak hanya itu, sikap menghina atau merendahkan orang lain pun memiliki konsekuensi yang serupa. Ketika kita menghina sesama manusia, kita tidak hanya menyakiti hatinya, tetapi juga menghina ciptaan Allah. Bayangkan, jika seorang pelukis menghasilkan sebuah karya, lalu kita mencemoohnya, tentu kita juga meremehkan sang pelukis, bukan? Begitu pula saat kita mengejek manusia, berarti kita meremehkan Penciptanya.

Mengubah Perspektif

Dalam hidup, kritik dan komentar memang sulit dihindari, baik yang kita terima maupun yang kita sampaikan. Namun, mari kita coba ubah sudut pandang ini sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Ketimbang sibuk mengkritik atau nyinyir, gunakan momen itu untuk melihat apa yang Allah ajarkan melalui interaksi kita dengan orang lain.

Allah menciptakan setiap manusia dengan keunikan masing-masing, bukan untuk dibandingkan, tetapi untuk saling melengkapi. Jika kita menganggap kelemahan seseorang sebagai kekurangan, bagaimana jika itu justru cara Allah mengajarkan kita kesabaran, keikhlasan, atau empati?

Mari berhenti berfokus pada kesalahan orang lain. Daripada sibuk mencari semut di seberang lautan, mengapa tidak kita fokus memperbaiki diri? Tetapi bukan sekadar untuk diri sendiri, melainkan karena kita ingin menjadi hamba yang lebih baik di mata Allah.

Menjaga Lisan sebagai Ibadah

Allah memberi kita lisan untuk digunakan dengan bijak. Perkataan kita seharusnya menjadi cerminan akhlak dan bentuk penghormatan kepada ciptaan-Nya. Kurangi nyinyir, berhenti merasa selalu benar, dan hindari kebiasaan buruk menjatuhkan orang lain. Sebab, setiap ucapan akan dimintai pertanggungjawaban:

"Tidak ada satu kata yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir."
(QS. Qaf: 18)

Dengan menjaga lisan, kita tidak hanya menjaga hubungan dengan manusia lain, tetapi juga memperbaiki hubungan kita dengan Allah. Karena setiap kali kita menghormati ciptaan-Nya, kita sebenarnya juga memuliakan Pencipta-Nya.

Kehidupan adalah ladang amal. Jangan habiskan energi untuk hal yang sia-sia, apalagi yang mengundang murka Allah. Fokuslah pada bagaimana kita bisa menjadi hamba yang lebih baik, yang menghormati ciptaan-Nya, termasuk diri sendiri. Insecure, kritik berlebihan, hingga merendahkan orang lain hanyalah langkah menuju kehancuran jiwa. Naudzubillah.

Mulai sekarang, mari ubah cara pandang kita. Apa yang kita lakukan, katakan, dan pikirkan, jadikanlah sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Karena sejatinya, hidup ini adalah perjalanan menuju keridhaan-Nya. 

So, pantaskah kita insecure? 



Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang