The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

[CERPEN] Mon, Ayo Moven On (Bagian 2)

Cerita sebelumnya Bagian 1

Aku masih kepikiran email Johan. Tidak hanya emailnya, tepatnya, kenangan-kenangan yang telah tertoreh selama cinta itu masih terjalin. Hampir lima tahun kami bersama menjalani suka dan duka.

Dulu, pertama bertemu, saat pesta sederhana ulang tahun Yaya, yang hanya dihadiri oleh keluarga Yaya, aku dan Johan, sobat dekat Bang Feri, abangnya Yaya. Karena tahu , HP Johan bagus, Bang Feri menyuruhnya menjadi juru foto. Dengan tangkas dan terlihat profesional, Johan menangkap setiap moment kebersamaan keluarga itu. Termasuk ada aku di dalam foto yang diambilnya.

“Kak, nanti kirimin, ya,” ucapku sepontan pada Johan. Karena penasaran dengan hasil foto-fotonya. Padahal kita belum saling kenal.

“Oke, share no wa aja,” Lalu aku menyebut nomerku dan dia langsung save sembari bertanya siapa namaku. Berawal dari situ akhirnya kita menjadi lebih akrab dan selalu kontak. Aku kagum dengan lelaki berparas sederhana tetapi memukau itu. Dia pribadi yang selalu ceria dan gokil. Ternyata selera kita sama. Kuliah di jurusan yang sama, di kampus yang sama, hanya saja, kami beda tingkat. Meski wajahnya tekesan dingin tapi dia selalu bisa membuatku tersenyum. Dia selalu rutin menghubungiku. Mengajak jalan, nonton, dan sampe akhirnya kita tahu, bahwa kita sama-sama suka.

Tiba-tiba handphoneku berderit. Satu pesan dari nomer baru masuk ke whatsappku.

“Mon,”

Aku bingung, siapa pengirim pesan itu. Jempolku langsung mengarah pada profil, tapi sayangnya tidak tertera nama dan foto. Aku enyahkan saja. Pikirku pasti hanya orang gak penting yang iseng godain. Sepuluh menit kemudian muncul lagi pesan dari nomer yang sama.

“Mon Mon Monkey.” Aku kaget. Sembarangan banget orang kirim pesan ini. Ingin kubalas dan kucaci maki tapi enggak jadi setelah kuteringat pesan itu. Pesan yang sama selalu dilayangkan oleh seseorang dan hanya orang itu satu-satunya yang berani bilang seperti itu.

“Johan?” balasku.

Lalu muncul emot tertawa ngakak darinya. Aku membalas dengan emotion geram.

“Apa kabar, Mon?”

“Buruk.”

“Kok bisa?”

“Gara-gara elu,”

“Gue akan memperbaikinya.”

“Maksud loe?”

“Jam 5, gue tunggu di kafe biasa, ya.”

dan setelah itu tidak ada percakapan lagi. Aku pun tidak membalas pesan terakhirnya. Aku tenggelam dan hanyut bersama pikiran yang kalut.

Bersambung

Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang