Cerita sebelumnya
Bagian 3
"Ternyata, kamu masih sama, Mon." Tatapannya tajam. Sungguh membiusku.
"Kupikir kamu sudah berubah," lanjutnya. Bibirku jadi kelu. Tak bisa berucap lagi. Saat ini dia benar-benar sukses membuatku seperti manusia bodoh yang sedang kebingungan mencari contekan saat ujian. Aku tidak berubah bagaimana? Batinku.
"Setelah kita berpisah, aku berharap ada seseorang lagi yang hadir untuk menggantikanmu, Mon."
Rangkaian ucapannya menghipnotisku. Aku seperti sedang tidak berhadapan dengan Johan yang biasanya. Dia nampak serius. Bahkan, dia tidak memakai kata "elu, gue" kayak sebelumnya.
"Dan, akhirnya, udah ada kan sekarang?" pungkasku. Entah, aku bisa kuat nggak menerima jawaban sekaligus kenyataan, bahwa lelaki di depanku ini sebentar lagi akan benar-benar berpisah denganku. Dimiliki oleh orang lain. Batinku bergejolak.
Sejurus kemudian, Johan mengeluarkan secarik kertas tebal bewarna-warni dari saku bajunya. Kertas itu terlipat rapi menjadi sebesar ukuran kartu nama. Lalu dia ulurkan padaku.
"Ini undangannya? Kecil amat. Gak elegant banget, sih," ejekku seraya membuang rasa tegang yang mulai menjalar ke seluruh raga. Sementara Johan tetep terlihat cool, dalam hati jangan-jangan dia tertawa riang karena sudah menang mau menikah duluan.
Lembaran kertas itu kubuka. Tertulis, "Maimunah dan Johan." Aku langsung terbelalak.
"Namanya, kok? Kaya nama gue?"
"Iya, itu kamu."
Aku terpaku. Keringatku dingin. Kugerak-gerakkan pergelangan kakiku berharap aku masih menapak di bumi.
"Mon, enam bulan terakhir ini, hidupku sepi. Meski banyak teman wanita di luar sana, tapi belum ada wanita yang secerewet dan selucu kamu."
"Maksud loe?" Mendadak emosi tersulut. Lalu dia tertawa ngakak, memperlihatkan rangkaian gigi putihnya. Namun ada secercah kerinduan yang terbayar saat bertemu dia kembali.
"Kamu, belum berubah, kan, Mon? Masih ada rasa cinta, kan, buatku?" Dia kembali serius. Tapi aku masih bimbang untuk bekata. Bohong kalau aku tidak memikirkan dia. Bohong kalau aku bahagia setelah kemarin berpisah dengannya. Dan sekarang, dia datang lagi dengan membawa segenggam harapan baru. Apakah ini saatnya?
"Aku, belum berubah. Tapi aku mau berubah," ucapku.
Lelaki selisih 3 tahun dariku itu nampak bertanya-tanya.
"Aku harus move on," tukasku.
"Jadi?" tanyanya lirih.
"Aku harus move on dari Mona yang dulu. Aku harus berubah jadi pribadi yang lebih dewasa. Aku nyesel udah bersifat kekanak-kanaknya."
Johan lalu memegang tanganku. Pandangan kami mulai beradu.
"Jadi, kamu mau menikah denganku, Maimunah?"
Aku tersenyum. Lalu mengangguk.
Pemandangan hamparan sawah di samping jendela terasa indah. Seakan menjadi saksi kebahagiaan kami hari ini.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar