The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

[CERPEN] Mon, Ayo Move On.

“Mon, minggu depan, gue mau nikah, loe harus dateng,ya. Kirimin alamat lengkap sama contact loe dong, biar gampang kalau mau kirim undangan.”

Email dari Johan mengusik pagiku. Ternyata itu pesan yang dia kirim sejak 2 minggu yang lalu.

Segera kubalas email itu dengan mengirim alamat dan nomer hp dan kuakhiri dengan pertanyaan tanggal pelaksanannya. Ternyata dia sedang on, email balasannya langsung masuk.

“Ada apa Mon?” seloroh Yaya, teman sekantorku, "serius banget mantengin laptop?”

“Email dari Johan,”

“What? Tumben? Ada angin apa?”

“Minggu depan dia mau nikah,” jawabku tak bersemangat.

Aku tidak membayangkan jika secepat itu dia mendapatkan jodoh. Sedangkan aku, mantannya dulu, masih konsisten dengan kesendirian ini. Pikiranku jadi melayang ke masa enam bulan silam. Saat kami masih bersama, menjalin sebuah asmara khas anak remaja. Namun sayang, itu dulu. Sekarang dia sudah akan menyunting gadis pilihannya.

“Apa? Johan mau nikah? Kapan?”

“Tanggal 30,”

“Bulan ini?” tanya Yaya lagi. Aku mengangguk

“Ciyus?” Sepertinya dia juga surprise mendengar berita ini.

“Iya, coba deh lihat, nih emailnya.” Aku menggeser layar PC-ku ke arah wajahnya. Yaya menoleh sebentar. Manik matanya menyapu seluruh layar, lalu tertawa terbahak-bahak. Aku terperanjat mendengar kelakar Yaya.

“Loe ngetawain gue karena dia dah dapet jodohnya, secara gue belum, gitu?” jawabku mulai emosi. Yang lebih nyebelin lagi, ekspresi dia masih cengengesan.

“Mona Maimunah, sohibku yang cantik, loe begok banget sih, mana ada tanggal 30 Februari. Gak bakal ada!” tegasnya. Seketika gue gondok banget. Memperhatikan lagi email Johan dan mulai berpikir tenang. Benar juga apa yang dibilang Yaya.

“Shiitt, berarti dia bohongin gue!” teriakku.

“Ehh, gak mesti juga, mungkin dia salah ketik?” Lalu dia tertawa lagi. Emosiku kembali teraduk. Terlepas dari perkataan Yaya, aku nyesel banget dah balesin emailnya. Bodo amat dia mau nikah atau enggak. Mau nikah sama siapa, terserah. Aku nggak boleh baper. Mon, Mon, ayo move on.

Bersambung.

Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang