Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Mon, Ayo Move On.

“Mon, minggu depan, gue mau nikah, loe harus dateng,ya. Kirimin alamat lengkap sama contact loe dong, biar gampang kalau mau kirim undangan.”

Email dari Johan mengusik pagiku. Ternyata itu pesan yang dia kirim sejak 2 minggu yang lalu.

Segera kubalas email itu dengan mengirim alamat dan nomer hp dan kuakhiri dengan pertanyaan tanggal pelaksanannya. Ternyata dia sedang on, email balasannya langsung masuk.

“Ada apa Mon?” seloroh Yaya, teman sekantorku, "serius banget mantengin laptop?”

“Email dari Johan,”

“What? Tumben? Ada angin apa?”

“Minggu depan dia mau nikah,” jawabku tak bersemangat.

Aku tidak membayangkan jika secepat itu dia mendapatkan jodoh. Sedangkan aku, mantannya dulu, masih konsisten dengan kesendirian ini. Pikiranku jadi melayang ke masa enam bulan silam. Saat kami masih bersama, menjalin sebuah asmara khas anak remaja. Namun sayang, itu dulu. Sekarang dia sudah akan menyunting gadis pilihannya.

“Apa? Johan mau nikah? Kapan?”

“Tanggal 30,”

“Bulan ini?” tanya Yaya lagi. Aku mengangguk

“Ciyus?” Sepertinya dia juga surprise mendengar berita ini.

“Iya, coba deh lihat, nih emailnya.” Aku menggeser layar PC-ku ke arah wajahnya. Yaya menoleh sebentar. Manik matanya menyapu seluruh layar, lalu tertawa terbahak-bahak. Aku terperanjat mendengar kelakar Yaya.

“Loe ngetawain gue karena dia dah dapet jodohnya, secara gue belum, gitu?” jawabku mulai emosi. Yang lebih nyebelin lagi, ekspresi dia masih cengengesan.

“Mona Maimunah, sohibku yang cantik, loe begok banget sih, mana ada tanggal 30 Februari. Gak bakal ada!” tegasnya. Seketika gue gondok banget. Memperhatikan lagi email Johan dan mulai berpikir tenang. Benar juga apa yang dibilang Yaya.

“Shiitt, berarti dia bohongin gue!” teriakku.

“Ehh, gak mesti juga, mungkin dia salah ketik?” Lalu dia tertawa lagi. Emosiku kembali teraduk. Terlepas dari perkataan Yaya, aku nyesel banget dah balesin emailnya. Bodo amat dia mau nikah atau enggak. Mau nikah sama siapa, terserah. Aku nggak boleh baper. Mon, Mon, ayo move on.

Bersambung.

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah