Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Mon, Ayo Moven On (Bagian 2)

Cerita sebelumnya Bagian 1

Aku masih kepikiran email Johan. Tidak hanya emailnya, tepatnya, kenangan-kenangan yang telah tertoreh selama cinta itu masih terjalin. Hampir lima tahun kami bersama menjalani suka dan duka.

Dulu, pertama bertemu, saat pesta sederhana ulang tahun Yaya, yang hanya dihadiri oleh keluarga Yaya, aku dan Johan, sobat dekat Bang Feri, abangnya Yaya. Karena tahu , HP Johan bagus, Bang Feri menyuruhnya menjadi juru foto. Dengan tangkas dan terlihat profesional, Johan menangkap setiap moment kebersamaan keluarga itu. Termasuk ada aku di dalam foto yang diambilnya.

“Kak, nanti kirimin, ya,” ucapku sepontan pada Johan. Karena penasaran dengan hasil foto-fotonya. Padahal kita belum saling kenal.

“Oke, share no wa aja,” Lalu aku menyebut nomerku dan dia langsung save sembari bertanya siapa namaku. Berawal dari situ akhirnya kita menjadi lebih akrab dan selalu kontak. Aku kagum dengan lelaki berparas sederhana tetapi memukau itu. Dia pribadi yang selalu ceria dan gokil. Ternyata selera kita sama. Kuliah di jurusan yang sama, di kampus yang sama, hanya saja, kami beda tingkat. Meski wajahnya tekesan dingin tapi dia selalu bisa membuatku tersenyum. Dia selalu rutin menghubungiku. Mengajak jalan, nonton, dan sampe akhirnya kita tahu, bahwa kita sama-sama suka.

Tiba-tiba handphoneku berderit. Satu pesan dari nomer baru masuk ke whatsappku.

“Mon,”

Aku bingung, siapa pengirim pesan itu. Jempolku langsung mengarah pada profil, tapi sayangnya tidak tertera nama dan foto. Aku enyahkan saja. Pikirku pasti hanya orang gak penting yang iseng godain. Sepuluh menit kemudian muncul lagi pesan dari nomer yang sama.

“Mon Mon Monkey.” Aku kaget. Sembarangan banget orang kirim pesan ini. Ingin kubalas dan kucaci maki tapi enggak jadi setelah kuteringat pesan itu. Pesan yang sama selalu dilayangkan oleh seseorang dan hanya orang itu satu-satunya yang berani bilang seperti itu.

“Johan?” balasku.

Lalu muncul emot tertawa ngakak darinya. Aku membalas dengan emotion geram.

“Apa kabar, Mon?”

“Buruk.”

“Kok bisa?”

“Gara-gara elu,”

“Gue akan memperbaikinya.”

“Maksud loe?”

“Jam 5, gue tunggu di kafe biasa, ya.”

dan setelah itu tidak ada percakapan lagi. Aku pun tidak membalas pesan terakhirnya. Aku tenggelam dan hanyut bersama pikiran yang kalut.

Bersambung

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah