Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2020

Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Mencintaimu dengan Maaf

Gambar
Mas Pramono, adalah lelaki yang menikahiku 8 tahun yang lalu. Kami bertemu pertama kali saat mengikuti ujian seleksi mahasiswa baru. Berawal dari meminjam penghapus menjadi alasan dia untuk mulai berkenalan denganku. Perkenalan kami terus berlanjut sampai akhirnya kami diterima di universitas yang sama dan jurusan yang sama pula. Sejak itulah hubungan kami semakin erat. Aku semakin mengaguminya karena dia cerdas dan aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan kampus. Prestasinya juga membanggakan, tak heran jika dia selalu terlibat dalam proyek penelitian dosen. Aku selalu setia menemaninya, selalu membantu apapun yang dia butuhkan. 4 tahun kebersamaan kami telah menorehkan beberapa kenangan indah di kota tempat aku mengenyam pendidikan di kampus ini. 14 Januari 2007 adalah hari yang sangat bersejarah bagi kami, dengan janji suci yang dia ucapkan di hadapan penghulu kami resmi menjadi pasangan suami istri. Kebahagiaan menyelimuti hari-hari kami. Menyambut mentari b...

[CERPEN] Shadev Wannabe

Gambar
Tas ransel dan segala peralatan mendaki terkemas rapi. Sudah jauh-jauh hari dia mempersiapkan semuanya karena ini pendakian perdana bagi Mala sebagai tim Pecinta Alam di kampus. Dirasa semua sudah beres, gadis tomboi berhijab itu menatap seisi ruangan berukuran 3x5 yang dia tempati bersama adiknya. Matanya mengedarkan pandangan seraya berpamitan kepada seluruh penghuni kamar bahwa dua malam tak akan bersua. Mendadak dia terkejut saat retina matanya menangkap setumpuk buku yang ada di atas meja belajar. Kemudian ia menghampiri benda itu. “Ya ampun Tita, Shadev lagi?” seru Mala setengah berteriak. Merasa namanya disebut, si pemilik nama lalu muncul dari balik pintu. Menyadari bahwa kepunyaannya diketahui oleh sang kakak, Tita hanya nyengir sambil memunguti barang itu. Sekumpulan novel romance. Mala terheran dengan sikap adiknya yang hobi mengoleksi novel Shadev, penulis ternama yang sudah menghasilkan puluhan novel best seller. Tak heran jika hampir seluruh rak bukuny...

[CERPEN] Looking For You (Bagian 3)

Gambar
Bagian 1   Bagian 2 Mobil Bu Winda sudah sampai di sebuah gedung besar bercat putih. Ada plang besar menghadap jalan, bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa Raflesia Indah”. Aku masih bertanya-tanya mengapa Bu Winda membawaku ke sini. Tanpa banyak bicara beliau langsung mengajakku masuk, menyusuri lorong panjang yang begitu mencekam. Tak ada orang lain yang berseliweran. Aku tahu, ini sudah sangat malam. Sepi. Memang saatnya mereka istirahat. Akhirnya kami berhenti tepat di depan pintu kamar VIP, bertuliskan “Figo Omatsu Rahardi”. Aku langsung terperanjat. Jantungku seakan berhenti seusai membaca nama itu. Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang lelaki berjas hitam dengan mata sipit muncul dari balik pintu. “Kamu, Mala, ya?” Lelaki itu menyalamiku dan senyumnya merekah indah. Membuat degub jantungku normal kembali. “Terima kasih, kamu mau datang. Terima Kasih.” Ucapannya terdengar tulus. Dia memegang erat tanganku, mantap. Aku mencoba tersenyum walau sebenarnya masih bingung. “Bagaiman...

[CERPEN] Looking For You (Bagian 2)

Gambar
Bagian 1 Sehari sebelum dia pergi menghilang, aku mengajaknya belajar bersama di rumah Andi. Saat aku dan Figo menyelesaikan soal, Andi datang membawa sekeranjang buah mangga hasil panenannya. “Ayo, makan dulu,” Andi mengambil sebuah pisau dan siap mengupas mangga. Tiba-tiba Figo langsung beranjak, menatap pisau yang dibawa Andi. Sontak aku kaget, begitu juga dengan Andi. “Lepaskan! Cepat! Lepaskan!” Figo berteriak dengan lantang. Sorot matanya tajam seakan siap menerkam. Andi yang masih memegang pisau hanya termangu. “Mala, cepat pergi! Kamu, pergi! Cepaattt!!” teriaknya semakin keras. Aku bingung, apa yang harus kuperbuat. Lalu kuputuskan keluar memanggil orang-orang sekitar. Keributan terjadi. Sempat ada adu mulut antara dua cowok itu. Keriuhan bertambah saat warga berdatangan. Figo malah menyerang dan memukuli Andi, meski Andi sudah melepaskan pisaunya. Seakan tak ada jeda untuk melawan, Andi hanya pasrah. Perasaanku kalut. Aku melihat, dia bukan seperti Figo biasanya. ...

[CERPEN] Looking For You (Bagian 1)

Gambar
Bangku itu masih kosong. Sudah tiga hari tak berpenghuni. Tak ada lagi yang menggoyang-goyangkan kaki kursi. Suara berisik saat meminjam catatan pun sudah tak terdengar. Dan sampai saat ini, aku tak tahu kemana pemiliknya pergi. Kelas sudah sepi. Aku mulai berkemas-kemas. Memunguti buku-buku yang berserakan di atas mejaku. Memasukkannya ke dalam tas. Tiba-tiba tanganku terhenti pada sebuah buku tulis berwarna merah. Aku sangat hafal sampulnya. Begitu juga dengan tulisan tangan sebuah nama inisial, FOR, si pemilik meja kosong di belakangku itu. Aku hampir lupa mengapa buku ini bisa ada di dalam tasku. Kemudian aku kembali teringat saat masih bersamanya, sepulang sekolah. “Aku sudah membantumu mencarikan bengkel sepeda. Sebagai upahnya, kamu harus menuliskan semua catatan pelajaran tiga hari kedepan, di bukuku ini.” Dia menyeringai sambil menyodorkan buku merah tebal. “Itu tidak setimpal. Kamu hanya membawa sepedaku ke bengkel yang jaraknya cuma 200 meter. Sementara, menulis ...