Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Shadev Wannabe





Tas ransel dan segala peralatan mendaki terkemas rapi. Sudah jauh-jauh hari dia mempersiapkan semuanya karena ini pendakian perdana bagi Mala sebagai tim Pecinta Alam di kampus. Dirasa semua sudah beres, gadis tomboi berhijab itu menatap seisi ruangan berukuran 3x5 yang dia tempati bersama adiknya. Matanya mengedarkan pandangan seraya berpamitan kepada seluruh penghuni kamar bahwa dua malam tak akan bersua. Mendadak dia terkejut saat retina matanya menangkap setumpuk buku yang ada di atas meja belajar. Kemudian ia menghampiri benda itu.

“Ya ampun Tita, Shadev lagi?” seru Mala setengah berteriak.

Merasa namanya disebut, si pemilik nama lalu muncul dari balik pintu. Menyadari bahwa kepunyaannya diketahui oleh sang kakak, Tita hanya nyengir sambil memunguti barang itu. Sekumpulan novel romance.

Mala terheran dengan sikap adiknya yang hobi mengoleksi novel Shadev, penulis ternama yang sudah menghasilkan puluhan novel best seller. Tak heran jika hampir seluruh rak bukunya dipenuhi oleh novel-novel karya Shadev. Berbeda dengan Mala, gadis yang hanya selisih dua tahun dengan Tita itu lebih tertarik mendaki gunung daripada membaca karangan fiksi.

“Kakak belum baca sih, coba kalau pernah baca pasti bakal ketagihan!”

“Ogah! Males!” tandas Mala sambil berlalu membawa tas ranselnya.

“Kakak mau ke mana?” seloroh Tita.

“Gunung Andong!”

***

Gunung Andong terletak di Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang. Gunung yang hanya memiliki ketinggian 1.726 Mdpl memang cukup ramah bagi pendaki, terutama para pendaki pemula. Untuk sampai di puncaknya hanya membutuhkan waktu sekitar 1-2 jam saja, tergantung kecepatan dalam berjalan. Gunung yang mempunyai tiga puncak ini sukses mencuri perhatian banyak orang. Ada puncak Makam, puncak Alap-Alap dan puncak Andong yang merupakan puncak tertinggi.

Sesampai di puncak Andong, Mala mulai merasakan hawa dingin yang menusuk tulang. Namun dia sangat bahagia dan kagum bisa memandang keindahan alam yang sangat memukai ini.

“Tangkupkan kedua telapak tanganmu! Gosokkan perlahan. Kamu akan merasakan aliran kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhmu.” Mala terkejut dengan perkataan seorang lelaki yang tiba-tiba berada di sampingnya.

“Kehangatan itu ibarat kebahagiaan. Dan dinginnya yang menusuk tulang itu adalah rintangan. Sedangkan gosokan kedua tanganmu adalah perjuangan. Seseorang tidak akan mencapai kebahagiaan saat dia tidak mau ikhlas menerima.” Mala masih diam terpaku mendengar uraian panjang lelaki bersyal hitam itu.

“Kehangatan itu hanya bisa di dapat jika kedua tanganmu mau bersatu untuk menangkup,” lanjutnya lalu pergi tanpa menunggu komentar dari Mala yang masih terperangah. Kemudian datanglah perempuan berambut pendek, berwajah bulat, dia Sasa sobat karib Mala.

“Eh barusan, Ken ngomong apa sama kamu? Kalian sudah baikan?” ucap Sasa membuyarkan lamunan Mala. Sasa tahu bahwa Mala anti bicara sama Ken sejak lelaki itu mengejek gambar lukisan gunung yang dia pajang di mading UKM Pecinta Alam.

“Emang gunung bentuknya segitiga? Kaya anak TK!” Masih teringat jelas ejekan Ken saat di depan teman-teman yang lain. Ya, walau memang hal sepele, namun lelaki yang baru dikenalnya itu telah menorehkan luka di hati Mala. Selama bergabung di tim pecinta alam, Ken lebih banyak menyendiri dan selalu asyik dengan laptopnya. Gambaran orang yang tidak suka bersosialisasi. Sebuah kebiasaan yang sangat cocok untuk orang ketus seperti Ken.

“Aneh. Entahlah! Mungkin lagi kesambet setan Shadev!” gerutu Mala.

“Hahaha, Shadev? Penulis favorit adikmu itu?” Kedua gadis itu berkelakar.

Malam mulai tiba, para mahasiswa pecinta alam Universitas Slamet Riyadi Solo itu berkumpul mengadakan api unggun. Namun Mala malah sibuk dengan handphonenya. Ternyata sinyal di gunung Andong masih bisa diajak bersahabat.


Tita: kak, lagi ngapain

Mala: lagi kedinginan

Tita: Tangkupkan kedua telapak tanganmu! Gosokkan perlahan. Kamu akan merasakan aliran kehangatan itu menjalar ke seluruh tubuhmu.

Mala: Sok dewasa kamu bisa bikin quotes sekece itu

Tita: Yee.. makanya baca novelnya Shadev biar tambah dewasa!


Mala kaget membaca pesan dari adiknya. Kalimat itu mirip dengan yang diucapkan Ken tadi sore. Jangan-jangan Ken juga penggemarnya Shadev? Hadew, capek deh, pikir Mala. Lalu dia mencoba membalas lagi chat itu dengan menirukan kalimatnya Ken.


Mala: Kehangatan itu hanya bisa di dapat jika kedua tanganmu mau bersatu untuk menangkup.

Tita: Kok, Kakak tahu kalimat itu?

Mala: Gak harus baca novelnya Shadev kali untuk bisa menjadi dewasa

Tita: (pasang emot sebal)



Mala langsung tersenyum puas. Dia membayangkan ekspresi kebingungan Tita saat membaca balasannya.

Di tengah cahaya api unggun, nampak Ken membaca buku tebal layaknya sebuah novel. Mala memperhatikannya dari kejauhan. Lelaki berwajah tirus itu terlihat begitu cool saat membaca. Tapi perasaan itu cepat-cepat dia hempaskan.

Menjelang pagi, saatnya Mala dan teman-temannya meninggalkan pesona indah Gunung Andong. Mereka harus bersiap-siap packing lalu breafing sejenak sebelum turun gunung. Bersusah payah Mala menggendong tas ranselnya sambil kedua tangannya mencangking beberapa barang siap pakai menuju titik kumpul.

“Kapan tingginya kalau bawaanmu besar kaya, gitu!”

Suara itu membuyarkan konsentrasi Mala yang sedang meniti jalan terjal. Serta merta dia langsung menoleh dan raut mukanya berubah ciut saat dia tahu bahwa pemilik suara itu adalah Ken. Duh, Shadev wannabe lagi, batin Mala.

“Apa pedulimu!” jawab Mala singkat sambil membuang muka. Lelaki berparas indo itu malah tersenyum simpul.

“Emang tidak peduli!” jawabnya lugas.

“Wahai kakak tingkatku yang terhormat, lebih baik jangan mengganggu urusan orang lain dan urus dirimu sendiri!” tanda Mala.

“Oh okay, wahai pelukis gunung segitiga!”

Perkataan Ken menjadikan perasaan Mala tambah kacau.

“Lebih baik melukis gunung segitiga daripada menjadi plagiat!”

“Plagiat? Maksud kamu?” tanya Ken dengan dahi berkerut.

“Kalimat yang kau ucapkan kemarin sore, itu kan kata-katanya Shadev!”

“Jadi kamu penggemar Shadev?”

“Nggak lah. Aku anti sama novel!”

***

Pengalaman mendaki gunung yang tidak begitu tinggi itu berhasil membuat kaki Mala pegal-pegal karena kelelahan. Sesampai di rumah, kasur menjadi incaran pertamanya. Terlihat Tita sudah tertidur di ranjang sambil memegang buku tebal berwarna biru. Perlahan diambilnya buku itu. Lalu dia buka satu per satu. Merasa kepo dengan buku karya Shadev, dibacanya secara skimming. Mala kembali menerawang tentang perkataan Ken dan isi novel Shadev. Sampailah pada halaman profil. Di sana tak ada foto si penulis. Profilnya pun dibuat tidak jelas, tak ada akun fb, ig, ataupun media sosial lainnya. Hanya ada alamat email.

Hari-hari berikutnya pikiran Mala dihantui oleh Shadev. Saat adiknya tidak di kamar, diam-diam dia mulai membaca novel Shadev mulai dari karya pertamanya. Ternyata kisah yang diceritakan dalam novel itu cukup menarik bagi seorang Mala yang anti baca karangan fiksi itu. Lalu terus dibaca, baca, dan baca.

“Hayooo... ketahuan, ngepoin Shadev, ya, Kak?” kejut Tita. Spontan Mala menggeleng dan mulai mengelak.

“Gimana keren, kan?” sergah Tita

“Nggak, biasa aja!” Mala jelas tidak mau mengakui kehebatan novel Shadev di depan adiknya, meski sebenarnya dia merasakan sebuah hipnotis yang dipancarkan dari setiap kalimat dalam novel terssebut. Tak disangka Mala mulai baper.

“Bohong!” tuduh Tita tidak percaya.

“Kamu tergila-gila banget sama Shadev, emang udah tahu orangnya?”

“Belum, sih. Tapi itu yang membuatku semakin tertarik, dia misterius. Oh ya, bulan depan penerbitnya mau mengadakan Meet and Greet, aku nggak boleh melewatkan kesempatan itu,” ucap Tita penuh sumringah. Mala hanya mencibir. Tiba-tiba terdengar derit suara telepon. Mala segera mengangkatnya, ternyata dari Sasa.

“Ada apa, Sa?”

“La, mau ikut kita nggak?”

“Ke mana?”

“Njenguk Ken di rumah sakit!”

“Emang dia kenapa?”

“Tadi malem jatuh ke jurang pas turun dari Merbabu!”

Mala kaget. Dia baru ingat bahwa tim pecinta alam memang ada agenda ke Merbabu setelah dari Gunung Andong, hanya saja Mala nggak ikut karena belum siap mental jika harus mendaki gunung setinggi Merbabu. Tanpa pikir panjang, Mala langsung bergegas menuju rumah sakit.

Kecelakaan yang menimpa Ken membuat tangan dan kakinya patah. Kejadian itu bermula saat turun dari mendaki, dia tersandung batu lalu tubuhnya membentur bebatuan dan mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuh. Setelah dievakuai oleh tim SAR Ken di bawa rumah sakit.

Muncul rasa iba dalam diri Mala. Lelaki yang menyebalkan baginya itu kini tergolek lemas di atas ranjang rumah sakit. Wajahnya penuh dengan lebam sedangkan kaki dan tangannya dibalut gips. Teman-teman pecinta alam berdatangan mengunjungi dan ingin mengetahui keadaan Ken. Mereka turut merasakan keprihatinan yang mendalam.

“Jadi berapa hari tanganmu dibungkus kaya gini?” tanya Sam, sang ketua tim

“Kata dokter 3 bulanan,” jawab Ken dengan suara parau.

“Jadi kau tidak bisa menulis lagi?” timpal teman lainnya.

“Mungkin ini saatnya aku harus istirahat,” jawab Ken

Mala menjadi bingung mendengar percakapan mereka. Lalu dia berbisik pada Sasa yang berdiri di sampingnya.

“Ken penulis?”

“Iya, dia kan penulis novel,”

“Novel apa?”

“Nggak tahu, aku kan nggak suka baca novel, hehe.”

Paling juga penulis plagiat, batin Mala mengejek.

***

“Kak Mala...!” teriak Tita setiba di rumah sepulang dari acara Meet and Greet. Mala yang sedari tadi asyik menonton TV di ruang tengah tidak mempedulikan teriakan adiknya sampai akhirnya Tita sendiri yang mendatangi Mala.

“Kenapa sih, histeris banget!”

“Kak, coba lihat deh! Aku susah payah lho mendapatkan foto ini, akhirnya aku bisa foto sama Shadev!” ucap Tita menggebu-gebu sambil menunjukkan smartphonenya. Dengan malas Mala melirik fotoTita yang duduk berdua dengan seorang lelaki memakai gips di tangan kanannya. Mala terkesiap. Lelaki itu Ken.

“Ganteng banget, kan!” seloroh Tita.

Mala masih terdiam dengan sejuta pikiran yang berhamburan, terbayang kejadian di gunung Andong kemarin. Timbul rasa bersalah, dia telah mengejek Ken sebagai plagiat. Ternyata lelaki ketus yang menyebalkan itu adalah pemilik karya besar yang berhasil menghipnotis Mala.

***

        Cerpen ini telah diterbitkan ke dalam sebuah buku antologi cerpen yang berjudul " Suara Bersampul Merah"  Penerbit Intishar, tahun 2018. Terimakasih ya, sudah mau membaca. 
 

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah