The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

[CERPEN] Looking For You (Bagian 3)


Bagian 1 

Bagian 2


Mobil Bu Winda sudah sampai di sebuah gedung besar bercat putih. Ada plang besar menghadap jalan, bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa Raflesia Indah”. Aku masih bertanya-tanya mengapa Bu Winda membawaku ke sini. Tanpa banyak bicara beliau langsung mengajakku masuk, menyusuri lorong panjang yang begitu mencekam. Tak ada orang lain yang berseliweran. Aku tahu, ini sudah sangat malam. Sepi. Memang saatnya mereka istirahat.

Akhirnya kami berhenti tepat di depan pintu kamar VIP, bertuliskan “Figo Omatsu Rahardi”. Aku langsung terperanjat. Jantungku seakan berhenti seusai membaca nama itu. Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang lelaki berjas hitam dengan mata sipit muncul dari balik pintu.

“Kamu, Mala, ya?” Lelaki itu menyalamiku dan senyumnya merekah indah. Membuat degub jantungku normal kembali.

“Terima kasih, kamu mau datang. Terima Kasih.” Ucapannya terdengar tulus. Dia memegang erat tanganku, mantap. Aku mencoba tersenyum walau sebenarnya masih bingung.

“Bagaimana keadaan, Figo?” Bu Winda membuka suara.

“Sudah tenang. Sekarang dia sedang tidur. Bagaimana kalau kita bicara di taman?” Lelaki itu menggiring kami ke tempat yang dituju. Dan di tempat itulah semua tanda tanyaku terjawab.

***

Lelaki itu adalah ayah Figo. Dua tahun yang lalu, ibunya meninggal dunia, karena bunuh diri. Perihal mengapa ibunya bunuh diri, aku tak mengerti. Naas sekali. Kejadian saat bunuh diri itu dilihat langsung oleh Figo. Sekuat tenaga, Figo mencegahnya, tapi ibunya nekat menusukkan pisau tepat di dadanya. Sontak Figo histeris, membuat terpukul dan psikologinya terganggu. Tak disangka ternyata peristiwa itu berdampak buruk pada kehidupan dia selanjutnya. Dia sempat di rawat di rumah sakit ini. Hampir setahun lamanya, dia dinyatakan sembuh, dan kembali menjalani aktivitas normal.

Dia mulai sekolah, homescholing dengan bimbingan Bu Winda. Sampai akhirnya dia bergabung di sekolahku, saat melihat fotoku di surat kabar tentang berita kemenangan lomba olimpiade. Katanya, wajahku mirip seperti ibunya.

Aku memang melihat Figo seperti cowok normal pada umumnya, tapi aku tidak menyangka jika kemudian jiwanya kembali terguncang saat melihat pisau.

“Mala, kamu nggak papa? Apa ada yang terluka?”

Kalimat itu selalu terucap dari mulut Figo setiap kali aku datang menjenguknya. Dan aku, akan terus menjenguknya sampai kalimat itu tak terucap lagi.

TAMAT

Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang