Bagian 1 Bagian 2Mobil Bu Winda sudah sampai di sebuah gedung besar bercat putih. Ada plang besar menghadap jalan, bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa Raflesia Indah”. Aku masih bertanya-tanya mengapa Bu Winda membawaku ke sini. Tanpa banyak bicara beliau langsung mengajakku masuk, menyusuri lorong panjang yang begitu mencekam. Tak ada orang lain yang berseliweran. Aku tahu, ini sudah sangat malam. Sepi. Memang saatnya mereka istirahat.
Akhirnya kami berhenti tepat di depan pintu kamar VIP, bertuliskan “Figo Omatsu Rahardi”. Aku langsung terperanjat. Jantungku seakan berhenti seusai membaca nama itu. Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang lelaki berjas hitam dengan mata sipit muncul dari balik pintu.
“Kamu, Mala, ya?” Lelaki itu menyalamiku dan senyumnya merekah indah. Membuat degub jantungku normal kembali.
“Terima kasih, kamu mau datang. Terima Kasih.” Ucapannya terdengar tulus. Dia memegang erat tanganku, mantap. Aku mencoba tersenyum walau sebenarnya masih bingung.
“Bagaimana keadaan, Figo?” Bu Winda membuka suara.
“Sudah tenang. Sekarang dia sedang tidur. Bagaimana kalau kita bicara di taman?” Lelaki itu menggiring kami ke tempat yang dituju. Dan di tempat itulah semua tanda tanyaku terjawab.
***
Lelaki itu adalah ayah Figo. Dua tahun yang lalu, ibunya meninggal dunia, karena bunuh diri. Perihal mengapa ibunya bunuh diri, aku tak mengerti. Naas sekali. Kejadian saat bunuh diri itu dilihat langsung oleh Figo. Sekuat tenaga, Figo mencegahnya, tapi ibunya nekat menusukkan pisau tepat di dadanya. Sontak Figo histeris, membuat terpukul dan psikologinya terganggu. Tak disangka ternyata peristiwa itu berdampak buruk pada kehidupan dia selanjutnya. Dia sempat di rawat di rumah sakit ini. Hampir setahun lamanya, dia dinyatakan sembuh, dan kembali menjalani aktivitas normal.
Dia mulai sekolah, homescholing dengan bimbingan Bu Winda. Sampai akhirnya dia bergabung di sekolahku, saat melihat fotoku di surat kabar tentang berita kemenangan lomba olimpiade. Katanya, wajahku mirip seperti ibunya.
Aku memang melihat Figo seperti cowok normal pada umumnya, tapi aku tidak menyangka jika kemudian jiwanya kembali terguncang saat melihat pisau.
“Mala, kamu nggak papa? Apa ada yang terluka?”
Kalimat itu selalu terucap dari mulut Figo setiap kali aku datang menjenguknya. Dan aku, akan terus menjenguknya sampai kalimat itu tak terucap lagi.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar