Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Looking For You (Bagian 3)


Bagian 1 

Bagian 2


Mobil Bu Winda sudah sampai di sebuah gedung besar bercat putih. Ada plang besar menghadap jalan, bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa Raflesia Indah”. Aku masih bertanya-tanya mengapa Bu Winda membawaku ke sini. Tanpa banyak bicara beliau langsung mengajakku masuk, menyusuri lorong panjang yang begitu mencekam. Tak ada orang lain yang berseliweran. Aku tahu, ini sudah sangat malam. Sepi. Memang saatnya mereka istirahat.

Akhirnya kami berhenti tepat di depan pintu kamar VIP, bertuliskan “Figo Omatsu Rahardi”. Aku langsung terperanjat. Jantungku seakan berhenti seusai membaca nama itu. Tak lama kemudian pintu terbuka. Seorang lelaki berjas hitam dengan mata sipit muncul dari balik pintu.

“Kamu, Mala, ya?” Lelaki itu menyalamiku dan senyumnya merekah indah. Membuat degub jantungku normal kembali.

“Terima kasih, kamu mau datang. Terima Kasih.” Ucapannya terdengar tulus. Dia memegang erat tanganku, mantap. Aku mencoba tersenyum walau sebenarnya masih bingung.

“Bagaimana keadaan, Figo?” Bu Winda membuka suara.

“Sudah tenang. Sekarang dia sedang tidur. Bagaimana kalau kita bicara di taman?” Lelaki itu menggiring kami ke tempat yang dituju. Dan di tempat itulah semua tanda tanyaku terjawab.

***

Lelaki itu adalah ayah Figo. Dua tahun yang lalu, ibunya meninggal dunia, karena bunuh diri. Perihal mengapa ibunya bunuh diri, aku tak mengerti. Naas sekali. Kejadian saat bunuh diri itu dilihat langsung oleh Figo. Sekuat tenaga, Figo mencegahnya, tapi ibunya nekat menusukkan pisau tepat di dadanya. Sontak Figo histeris, membuat terpukul dan psikologinya terganggu. Tak disangka ternyata peristiwa itu berdampak buruk pada kehidupan dia selanjutnya. Dia sempat di rawat di rumah sakit ini. Hampir setahun lamanya, dia dinyatakan sembuh, dan kembali menjalani aktivitas normal.

Dia mulai sekolah, homescholing dengan bimbingan Bu Winda. Sampai akhirnya dia bergabung di sekolahku, saat melihat fotoku di surat kabar tentang berita kemenangan lomba olimpiade. Katanya, wajahku mirip seperti ibunya.

Aku memang melihat Figo seperti cowok normal pada umumnya, tapi aku tidak menyangka jika kemudian jiwanya kembali terguncang saat melihat pisau.

“Mala, kamu nggak papa? Apa ada yang terluka?”

Kalimat itu selalu terucap dari mulut Figo setiap kali aku datang menjenguknya. Dan aku, akan terus menjenguknya sampai kalimat itu tak terucap lagi.

TAMAT

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah