Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Looking For You (Bagian 1)



Bangku itu masih kosong. Sudah tiga hari tak berpenghuni. Tak ada lagi yang menggoyang-goyangkan kaki kursi. Suara berisik saat meminjam catatan pun sudah tak terdengar. Dan sampai saat ini, aku tak tahu kemana pemiliknya pergi.

Kelas sudah sepi. Aku mulai berkemas-kemas. Memunguti buku-buku yang berserakan di atas mejaku. Memasukkannya ke dalam tas. Tiba-tiba tanganku terhenti pada sebuah buku tulis berwarna merah. Aku sangat hafal sampulnya. Begitu juga dengan tulisan tangan sebuah nama inisial, FOR, si pemilik meja kosong di belakangku itu. Aku hampir lupa mengapa buku ini bisa ada di dalam tasku. Kemudian aku kembali teringat saat masih bersamanya, sepulang sekolah.

“Aku sudah membantumu mencarikan bengkel sepeda. Sebagai upahnya, kamu harus menuliskan semua catatan pelajaran tiga hari kedepan, di bukuku ini.” Dia menyeringai sambil menyodorkan buku merah tebal.

“Itu tidak setimpal. Kamu hanya membawa sepedaku ke bengkel yang jaraknya cuma 200 meter. Sementara, menulis catatan selama tiga hari, itu terlalu lama. Upah macam apa itu!” protesku.

“Kalau kau tidak mau, aku akan menggemboskan sepedamu lagi!”

Aku melotot tak terima.

“Dan silakan, kau bawa lagi ke bengkel yang katamu cuma 200 meter itu, sendirian!”

“Curang!” gerutuku.

Aku hanya bisa pasrah, sementara dia tertawa puas sambil memperlihatkan barisan gigi putihnya yang sangat rapi dan bersih. Selaras dengan kulitnya. Banyak yang mengira dia bukan asli orang jawa. Wajahnya hampir mirip dengan Jin BTS, aktor korea yang banyak digandrungi wanita. Tapi itu bukan aku. Seganteng apapun, bagiku dia sangat menyebalkan. Aku geram dibuatnya.

“Pulang, yuk, La!” Seruan Andi mengusik lamunanku. Membuyarkan pikiran tentang sosok cowok binal yang telah merampas kenyamananku selama sebulan ini.

“Kamu, duluan aja, Ndi,” jawabku sembari kembali membereskan buku-buku.

“Yakin nggak bareng? Trus kamu mau naik apa?”

“Aku bisa naik angkot, kau pulang duluan saja. Oke?”

“Kamu kenapa, sih? Masih mikirin, Figo?” Cowok berkacamata minus itu menatapku serius. Aku menggeleng pelan.

“Seharusnya kamu mikirin aku, nih, pipiku masih lebam.” Andi mengelus-elus pipi kirinya yang nampak kebiru-biruan. Aku balik menatapnya. Menyisiri kisah dibalik warna biru kehitaman yang tertoreh di pipi Andi. Kelakuan Figo. Oh Figo. Apa yang sudah dilakukan cowok binal itu membuatku tak habis pikir.

Bersambung...

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah