Bagian 1Sehari sebelum dia pergi menghilang, aku mengajaknya belajar bersama di rumah Andi. Saat aku dan Figo menyelesaikan soal, Andi datang membawa sekeranjang buah mangga hasil panenannya.
“Ayo, makan dulu,” Andi mengambil sebuah pisau dan siap mengupas mangga. Tiba-tiba Figo langsung beranjak, menatap pisau yang dibawa Andi. Sontak aku kaget, begitu juga dengan Andi.
“Lepaskan! Cepat! Lepaskan!” Figo berteriak dengan lantang. Sorot matanya tajam seakan siap menerkam. Andi yang masih memegang pisau hanya termangu.
“Mala, cepat pergi! Kamu, pergi! Cepaattt!!” teriaknya semakin keras.
Aku bingung, apa yang harus kuperbuat. Lalu kuputuskan keluar memanggil orang-orang sekitar.
Keributan terjadi. Sempat ada adu mulut antara dua cowok itu. Keriuhan bertambah saat warga berdatangan. Figo malah menyerang dan memukuli Andi, meski Andi sudah melepaskan pisaunya. Seakan tak ada jeda untuk melawan, Andi hanya pasrah. Perasaanku kalut. Aku melihat, dia bukan seperti Figo biasanya.
Untung saja warga segera melerai. Mereka berhasil menjauhkan Figo dari Andi. Aku sungguh takut. Tatapannya terus tertuju pada pisau yang tergeletak di lantai. Sepertinya ada kemarahan besar yang ada dalam diri Figo. Masih dengan nafas yang terengah-engah, dia lalu pergi, berlari kencang. Aku tak mampu mengejarnya. Tanpa aku tahu, setelahnya dia tak muncul lagi.
***
Aku sudah kehabisan akal bagaimana cara menghubungi Figo. Aku tak tahu rumahnya. Dia juga tak memiliki handphone. Memang hal yang aneh anak muda zaman sekarang tidak memakai gadget. Ya, Figo memang aneh.
Setiap hari dia diantar sekolah oleh sopirnya. Kemanapun dia pergi selalu sopir yang mendampingi. Saat di sekolah, sopir hanya mengantar lalu datang lagi tepat di waktu yang dijanjikan. Perihal hilangnya Figo, sempat terpikir ingin menghubungi si sopir, tapi aku juga tak tahu kontaknya.
Suara jangkrik dan detikan jarum jam terdengar begitu nyaring. Benda bulat yang terpasang di dinding menunjukkan pukul 21.30. Manik mataku bergeser pada pigura yang terpasang di samping jam dinding. Tersemat fotoku saat menerima penghargaan juara pertama olimpiade matematika tingkat nasional, satu bulan yang lalu. Pikiranku kembali melayang pada pesan Bu Winda, tepat saat hari pertama Figo datang sebagai murid baru.
“Mala, kamu anak yang paling pandai di sini, ibu harap kamu bisa membantu Figo untuk berdaptasi, ya.”
Aku tidak menyangka Bu Winda melemparkan amanat ini. Sebelumnya aku mengelak dengan hormat, karena bukan tanggungjawabku untuk mengurusi Figo. Toh, tidak ada aturannya, siswa yang berprestasi wajib mendampingi murid baru yang binal macam Figo.
“Ibu, mohon, Mala.”
Semenjak saat itu, aku berusaha menerima dengan lapang dada. Setiap usai pelajaran, aku selalu berusaha bersikap ramah dan menanyakan tentang pemahamannya soal pelajaran hari itu. Tapi dia selalu menimpali dengan slengekan. Dia tidak pernah serius dengan sikap baikku. Itu sungguh menyebalkan.
Hidupku terkuras sia-sia hanya untuk memikirkannya. Lebih baik aku tidur saja, dan menata hari esok tanpa memikirkan dia. Baru saja akan memejamkan mata, handphone-ku berdering. Sontak mataku terbelalak saat mendapati nama Bu Mala terpapang di layar.
Bersambung...
Komentar
Posting Komentar