Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Mencintaimu dengan Maaf





Mas Pramono, adalah lelaki yang menikahiku 8 tahun yang lalu. Kami bertemu pertama kali saat mengikuti ujian seleksi mahasiswa baru. Berawal dari meminjam penghapus menjadi alasan dia untuk mulai berkenalan denganku. Perkenalan kami terus berlanjut sampai akhirnya kami diterima di universitas yang sama dan jurusan yang sama pula. Sejak itulah hubungan kami semakin erat. Aku semakin mengaguminya karena dia cerdas dan aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan kampus. Prestasinya juga membanggakan, tak heran jika dia selalu terlibat dalam proyek penelitian dosen. Aku selalu setia menemaninya, selalu membantu apapun yang dia butuhkan. 4 tahun kebersamaan kami telah menorehkan beberapa kenangan indah di kota tempat aku mengenyam pendidikan di kampus ini.

14 Januari 2007 adalah hari yang sangat bersejarah bagi kami, dengan janji suci yang dia ucapkan di hadapan penghulu kami resmi menjadi pasangan suami istri. Kebahagiaan menyelimuti hari-hari kami. Menyambut mentari bersama dan menghabiskan sore di tepi pantai selalu menjadi agenda rutin kami. Sangat menyenangkan melewati hari-hari bersamanya dalam sebuah ikatan suci ini. Namun sayang, hal ini tidak berlangsung lama. 5 bulan setelah pernikahan kami, Mas Pram mendapat tawaran pekerjaan dari dosennya untuk menjadi asisten dosen di Universitas John Carroll, yang nantinya akan dibiayai sekolah s-2 disana. Dan Mas Pram menerima tawaran tersebut. Aku tentu saja mendukungnya. Mungkin ini adalah jalan rejekinya untuk mengembangkan profesinya. Senang dan bahagia bercampur sedih karena sebentar lagi aku akan ditinggal oleh suamiku, hari-hari bersama menyambut mentari dan menghabiskan sore di pantai mungkin hanya akan menjadi kenangan. Aku tidak mungkin turut mengikutinya ke USA, karena aku sedang hamil 3 bulan, mungkin akan repot jika aku juga harus melahirkan di sana.

Akhirnya kami menjalani kehidupan Long Distance. Awalnya semua baik-baik saja, hubungan komunikasi kami lancar, setiap liburan semester dia pulang. Namun semenjak dia mulai lulus s-2 dan diterima menjadi dosen tetap di Universitas John Carroll, Mas Pram selalu jarang membalas pesanku, jarang telepon, dan tidak lagi memberiku nafkah. Sedih itu pasti, kekhawatiranku semakin merajalela. Aku terus menerus mengiriminya pesan via email. Aku juga mencoba menghubungi teman-temannya, keluarga dekatnya dan dosen-dosen yang dekat dengannya. Tapi tak ada yang bisa memberiku jawaban. Aku merasa seperti hanya hidup berdua di dunia ini. Kadang aku mebutuhkan pundak untuk bersandar saat aku mengalami kepenatan hidup. Aku butuh seseorang yang dapat mendamaikan perasaanku ketika aku gundah dan sedih. Ketika anak kami, Rega, sakit, atau rewel meronta-ronta meminta mainan mahal dan aku tak ada uang, akupun meronta-ronta dalam hati, aku mencari-cari suamiku. Bahkan ketika Rega sudah mulai bisa berbicara dan mulai memanggil-manggil “Ayah”, yang dipanggil pun tak ada disampingnya.

“Harusnya Mas Pram ada disini, melihat perkembangan dan kelucuan Rega, buah hati kita. Aku merindukannya, sungguh. Aku sangat membutuhkanmu. Pulang lah Mas. Tak kah kau bayangkan betapa girangnnya Rega jika melihat engkau pulang dan memeluknya.” Itu adalah kalimat yang selalu aku sematkan pada pesan email yang aku kirimkan email. Hampir setiap hari aku mengirim pesan dan foto Rega. Dengan sabar dan dengan dilinangi air mata aku selalu ceritakan semua apa yang terjadi dalam hari-hariku bersama Rega. Meski tidak aku dapatkan balasan satupun darinya. Malam itu, aku membuka lagi emailku setelah hampir beberapa minggu aku tidak menggunakannya karena kesibukkanku mengurus Rega yang sedang sakit typus dan opname di rumah sakit. Mata ku terbelalak ketika aku dapati ada 1 pesan masuk. Tanpa berlama-lama membuka pesannya. Surprise sekali, ternyata email dari Mas Pram. Balasan yang aku tunggu-tunggu hampir 3 tahun lamanya. Aku mulai membacanya kata demi kata.




Aku tak bisa lagi membendung air mataku. Tumpah dan pecah membasahi seluruh pipiku. Tubuhku seakan tidak berpijak lagi pada bumi. Hatiku hancur, luluh lantah. Hancur berkeping-keping tak berbentuk. Bertahun-tahun aku menunggunya, menunggu kabarnya. Aku bertahan memendam rinduku, sekuat tenaga aku menjaga cintamu. Merenda semua pedihnya hidup ini sendirian, namun apa yang aku dapat? Kau malah menceraikanku.

***

“Ibuk....sudah siang nih, nanti aku terlambat !” teriak anakku dari teras depan rumah.

“Iya sebentar 2 menit lagi” jawabku dari dalam kamar sambil memakai sepatu kerjaku. Sudah menjadi aktivitas sehari-hariku mengantar Rega, anak semata wayangku pergi ke sekolah. Aku mengantarnya sekalian berangkat ke tempat kerjaku.

“Ahh ibuk lama..aku hitung sampai 10 ya.. satuuu dua tiga empat lima enam....” belum sampai hitungan ke 10 aku sudah siap mengahampirinya.

“Ayo berangkat anak Ibu yang bawel” aku merangkulnya dan dia tersenyum lucu memperlihatkan lesung pipinya. Kini dia sudah besar, usianya sudah 7 tahun. Tinggi badannya sudah hampir mencapai pundakku. Rambut cepaknya yang menjuntai ke atas menantang langit persis rambutnya Mas Pram, kulitnya sawo matang, hidungnya yang mancung dan cara berjalannya serta sifatnya yang judes tapi baik hati itu mengingatkanku pada ayahnya. Ayahnya yang telah melepas tanggung jawabnya begitu saja dengan mudahnya. Ayahnya yang lebih memilih wanita lain hanya demi sebuah materi yang dia dapat. Aku selalu menangis setiap mengingatnya. Aku juga tidak mau tau siapa asal-usul wanita yang tega merebut suamiku itu.

Meski luka itu telah lama mereka torehkan padaku, namun perih itu masih terasa. Aku telah mencoba melupakan tapi ku tak mampu, bagaimana bisa melupakanmu jika darahmu, sifatmu, tabiatmu bahkan guratan senyum dan wajahmu semua kamu wariskan pada anakmu, Rega. Dan sampai saat ini aku belum mengajukan sidang perceraianku dengan Mas Pram di pengadilan. Aku juga tidak pernah sekalipun mengambil uang yang dia transfer kepadaku. Sekuat tenaga aku mencoba memaafkannya. Merelakannya bersama wanita pilihannya. Biarlah mereka bahagia di sana dan biarlah aku di sini, merajut asa, meniti kehidupan, menggapai kebahagiaan berdua, bersama Rega, anakmu.

_______________________________
Cerpen ini sudah diterbitkan dalam sebuah buku antologi cerpen berjudul "Air Mata Luka" penerbit Harasi, tahun 2016. Terimakasih sudah membaca. :)






Komentar

Posting Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah