Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Belanja Sambil Belajar


Kalau gak jajan ya minta mainan. Itu sudah semacam kata kunci setiap dia ikut pergi. Ya sebagian mengganggap ini hal yang wajar. Namanya juga anak-anak. Sebagai orang tua, aku juga menyadari, bagaimana dulu ketika diajak pergi mesti minta itu dan ini. Meski punya uang tapi emak dulu selalu beralasan agar benda yang kuminta tak jadi dibeli.

Dan lagi-lagi, aku sampai di posisi di mana aku harus mencari cara agar si dia tak banyak minta hal-hal yang tak berguna. Meski tanggal muda tak bisa menjadi alasan untuk berfoya-foya, iya kan yaaa? Haha

Sampai akhirnya, saat dia berceloteh ingin ini itu, (kayak aku kecil dulu) maka, aku memberinya penjelasan.

"Boleh beli, ambil yang harganya kurang dari lima ribu ya,"

Seperti mendapat game seru, dia langsung semangat berburu. Dilihatnya semua angka-angka yang tertera di bawah barang-barang yang dipilihnya. Pada moment inilah saatnya dia belajar mengenal angka dan harga. Bisa belajar pula tentang sebuah nilai yang lebih besar dan lebih kecil. Terbukti, ketika dia mendapati sebuah barang yang dibawahnya tertera angka lebih dari 4 digit, dia lalu mengabaikannya. Cukup lama dia menyelesaikan game ini. Aku hanya bisa tertawa geli, di toko ini harga dibawah 5rb mah bisa dihitung jari.
Sampai akhirnya dia kegirangan melihat sebuah bungkusan mungil bergambar robot khas favorit anak-ank, dibawahnya tersemat harga 2ribu. Aku menyelidik dan setelah kuamati ternyata itu permen karet. Saat tahu bahwa itu permen karet, dia langsung mengembalikan barang itu ke rak. Rupanya dia masih mengingat pesanku bahwa boleh makan permen karet kalo dah SD. Ini peraturan lokal di keluarga kami sih. Selama ini memang dia gak suka makan permen.

Kembali ke perburuan selanjutnya, tak juga dia dapati, akhirnya dia berjalan menuju pintu keluar.
"Gak jadi beli, nih?"
"Gak usah, Buk! Mahal-mahal, kita kan harus berhemat," ucapnya sambil lalu 
"Oh, okay," Aku tersenyum lega dan bangga. Bukan karena dompetku yang masih aman karena tak jadi dibelanjakan, tapi setidaknya dia tak perlu meraung-meraung hanya demi mendapatkan barang yang dia minta. 

Meski ada terselip rasa kecewa. Kupikir saat kita, sebagai orang tua, bisa ngasih pengertian ke anak, pasti anak bisa memahaminya. Akhirnya kisah ini ditutup dengan pentol kuah yang cukup bahagia dinikmati berdua hanya dengan uang 5ribu aja.

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah