The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

Bermain Pesan

Hai teman-teman. Terimakasih sudah berkunjung ke blog ku ini. Seneng sekali masih diberi kesempatan bisa nulis lagi. Yaaa... Masih ikhtiar untuk tetel istiqomah nih. Hihi.

Eh iya, masih inget gak, dulu pas sekolah kalian pasti suka bermain pesan gitu sama teman sebangku atau teman seberang meja. Iya gak? Itu lho, yang surat-suratan gitu, trus main lempar kertas kalau jaraknya jauh. Kalau deket yang cuma modal buku tulis bagian belakang yang dijadikan media dialog, lalu disodorkan ke teman biar dibaca lalu nunggu balasan. 

Metode ini biasanya dilakukan saat guru menyampaikan pelajaran secara monoton. Jadi bosen melanda, mau ngajak ngobrol nanti kena tegur. Maka inilah cara mengusir kebosanna itu. Iya gak sih?? Tapi itu ceritaku dulu sih. Entah kalau anak-anak jaman sekarang. Mungkin cara ini udah jadul mengingat sdh ada smartphone yang bisa diandalkan.

Oke, jadi kembali ke tema.
Berawal dari sebual hal yang kualami akhir-akhir ini. Selama mendampingi dia belajar di rumah, aku menangkap ada kebosanan dalam dirinya. Mau ngapain setelah ini? Mandi udah, makan udah, tugas sekolah dah dikerjain, nonton tv udah. Main sama temen-temen? Ehmm kadang-kadang. Sampai akhirnya suatu ketika, dia menemukan sebuah notes kecil yang bertengger di meja. Imajinasinya beraksi. Dia mengambil sebuah pena lalu memerankan layaknya seorang detektif yang menyelidiki sebuah kasus. Dia tuliskan kasus yang terjadi itu di notes tersebut. Emak kaget. Saat dia merangkai sebuah cerita lengkap dengan gambar monster yang katanya sedang merusak bumi. 

Jujur, surprise rasanya. Wow dia sudah menulis cerita. Lalu ide berlanjut. Aku mulai memancing dengan pesan-pesan yang kutulis di notes itu. Selanjutnya dia balas lagi tanpa kusuruh dia langsung menjawab dengan kreasinya. Ya meski ada beberap kata yang hurufnya kurang tapi seenggaknya dia sudah bisa merangkai huruf-huruf itu menjadi susunan kata lalu menjadi untaian kalimat. Bahkan kalimat panjang dengan dialek bahasa jawa juga dia tuliskan.

Hari-hari selanjutnya, kami terus bermain pesan, mulai dari hal-hal receh seperti ajakan ayo mandi. Lalu dia jawab dengan berbagai alasan yang akhirnya gak jadi-jadi mandi karena terlena membalas pesan-pesan itu. Kelihatan gak mana tulisan anak, mana yang emak? 😂
Tak sampai di situ. Dia juga mulai menulis pesan melalui WA. Kalau yang ini dia tambah seneng, itu artinya dia boleh pegang HP. Walau kadang yang nanti mlipir ke game atau youtube. Hadew. Tapi ya pinter-pinter kita sebagai ortu untuk mengawasi dan mengendalikannya sih.

Tapi setidaknya gadget bisa dimanfaatkan sebagai media belajar. Seperti tangkapan layar di bawah ini. Ada percakapandia menggunakan hp ibunya buat berkirim pesan dengan ayahnya. Dialognya juga cuma sederhana, mulai dari pertanyaan klise kayak, "ayah sedang apa?" Sampai ke pertanyaan berbau kognitif kayak penjumlahan, dan pertanyaan siapa presiden Indonesia. Hhaha..pokoknya...seru.  

Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang