The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

Mengikhlaskan Kehilangan

Entah bagaimana cara menggambarkan perasaanku waktu itu. Pagi hari saat melintasi gerbang sekolah, aku melihat seonggok barang yang dipajang di meja depan pos satpam. Sepontan aku mendekatinya, lalu bertanya pada petugas jaga perihal identitas barang tersebut. Tentu dia tak mengetahuinya, dan itu yang kuharapkan, karena barang itu memang milikku yang telah hilang seminggu yang lalu.

Tentu aku girang bukan kepalang melihat sebuah tas jinjing yang begitu familiar. Di dalam berisi lunchbox, dan botol minum bermerk yang membernya sudah di mana-mana. Tau lah ya ga usah aku sebutkan merk-nya๐Ÿ˜€

Tentang hilangnya lunchbox ini, kisahnya berawal ketika aku mau berangkat sekolah dan benda itu ternyata tak ada di rumah. Kupikir tertinggal di sekolah, nyatanya, di ruangan kantor pun tak ada. Kutelusuri seantero lorong yang pernah kulalui, kutanya orang-orang yang kutemui, nihil. Seharian itu hatiku berkecamuk. Memikirkan keberadaan benda yang tak berharga. Lebay banget, ya? Emberrr.

Secara logika, barang ga ada atau hilang, ya udah, beli lagi aja. Toh itu hanya sebuah lunchbox yang harganya tak seberapa. Tapi waktu itu udah kayak gak ada logika, benar-benar merasa kehilangan. Pasalnya, aku mulai kelimpungan ketika jam makan siang. Secara, di pantry tidak disediakan piring dan sendok, dan lunchbox atau seperangkat alat makan memang menjadi alat vital dalam menepis rasa lapar.

Oke deh, hari itu, seminggu yang lalu, akhirnya terlewati. Sebagai pengganti, hari-hari berikutnya aku memakai alat makan dan botol minum seadanya. Aku belum memutuskan untuk beli lagi. Dalam hati masih berharap, barangku bisa ketemu. Sampai akhirnya aku berencana, ingin meminta diperlihatkan rekaman cctv di hari aku kehilangan itu. Tapi kuurungkan, karena kupikir-pikir itu bukan hal penting. 

Seminggu berlalu, kayaknya masa berkabungku juga udah usai. Aku udah mencoba mengikhlaskan. Apaan sih meratapi hal receh macam ini. Akhirnya kubeli lagi tuh satu set lunch box yang udah lengkap isinya. Ya, via online shop di market place yang berwarna orange itu. Yaps, sudah kupilih yang harganya tidak terlalu bombastis, biar kalau hilang lagi aku gak perlu mendramatis. Oke, checkout berhasil dan barang sudah dikirim.

Awalnya aku masih bertanya-tanya, mengapa tas jinjingku bisa raib. Tapi jika aku terus berpikir, sama aja aku ga bisa move on. Sampai di fase aku pesen set lunchbox yang baru, itu semacam pancingan, kalau suatu hari barang yang hilang akan ditemukan. Dan ternyata beneran. Saat kita sudah mengikhlaskan kehilangan, sesungguhnya kita telah mendapatkan sebuah kejutan. Seperti yang kurasakan. 

Yaps, sekarang aku jadi punya dobel set lunchbox dong๐Ÿ˜€. Alhamdulillah, rencana Allah itu selalu indah.



Komentar

  1. Tapi ada di fase mengikhlaskan itu, another ultimate level! Barakallaah.

    BalasHapus
  2. Lunch box memang jalan ninja kalau berangkat kerja. Meski kadang sepele. Tapi membantu. *tim bawa bekal

    BalasHapus
  3. Kayaknya tahu lunch box-nya apa ini. Can relate.

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang