Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Hati Tetap Tenang, Menjalani Takdir-Nya

Hujan deras mengguyur sore ini, bertepatan dengan waktu pulang. Suami sudah datang menjemput kami. Tapi sayang, anak-anak di perpustakaan masih asyik bercengkrama dan beberapa dari mereka belum dijemput. Alhasil, aku juga tak bisa langsung pulang begitu saja, apalagi hujan semakin deras.

Derasnya aliran air seakan menyerang pintu masuk gedung perpustakaan. Ada lubang air yang terpasang dekat area taman, jalur aliran itu bersebelahan dengan deretan sepatu dan sandal para wali murid yang pada berteduh di teras perpustakaan. Karena saking asyiknya bercanda dan mengobrol sampai tak ada yang menyadari bahwa sepatu, dan sandal-sandal mereka hanyut masuk ke dalam saluran air. 

Aku yang sudah terbiasa dengan pola hujan seperti ini, langsung mengecek keadaaan sepatu/sandal yang ada di luar. Satu hal kebiasaan mereka adalah memang begitu masuk sepatu/sandal langsung dilepas begitu aja tanpa diletakkan di rak yang telah disediakan.

Sayang, aku sudah terlambat. Aku tak bisa berbuat apa-apa saat melihat sandal-sandal itu berjalan sendiri lalu hanyut dan masuk ke lubang air. Dan, naas nya, sandal kebanggan suamiku pun hanyut๐Ÿ˜ญ.

Kami menelusuri di mana muara aliran air itu. Saat bertanya pada bagian sarpras, ternyata ada saluran bawah gedung perpus yang tak bisa dijangkau hanya dengan tangan kosong. Apalah aku yang tak berdaya ini selain harus mengikhlaskan sendal suami. Meski suami tenang-tenang saja, tapi aku merasa masih sayang, dan rasanya masih ingin berusaha mencarinya. 

Hanya sebuah sandal, meski sebenarnya sandal milik walimurid yang ikut hanyut pun bukan hanya sandal wc, melainkan sandal bepergian yang kualitasnya bagus tentunya, tapi rupanya beliau sama tak berdayanya, jadi akhirnya mengikhlaskan dan pulang dengan tanpa alas kaki sebelah.

Begitu hujan reda, perpus sudah sepi, kami pulang. Sandal kulit yang kehilangan pasangannya itu beliau tinggal saja dan mengendarai motor tanpa alas kaki.  

nyeker men


Dalam perjalanan pulang, ditemani rintik-rintik hujan, aku merasa ada sebuah tarikan di bawah. Saat aku mengecek, OMG, bagian ujung gamisku masuk ke gir rantai motor, (panik dong sampai aku ga sempet mendokumentasikannya)

Akhirnya kami berhenti, tepat di depan warung sate kambing. Kami utak utek itu ujung kain, tapi nihil. Ikatannya begitu kuat, sekuat cinta kami. Hadeww๐Ÿ˜‚, sempet berpikir juga, apakah perlu digunting?? Tapi gamis seragam akan jadi korban? Oh No.๐Ÿ˜ญ

Kehebohan ini rupaya mengundang pemilik warung sate. Ada 2 orang laki-laki muda dan setengah tua, keluar warung dan menghampiri kami, lalu menanyakan apa yang tengah terjadi.

"Distandarkan dua saja, Pak," ujar salah satu lelaki itu. Suami pun mengikuti. Aku seperti sudah menyerah. Tak tahu teknik apa yang akan mereka lakukan. Eh entah dapat ide darimana, mereka menyuruh motor kembali dinyalakan dan roda diputar ke belakang. Perlahan-lahan kain gamisku terurai, dan yayyy, berhasil lepas! Seneng banget, tau! Berkali-kali aku ngucapin makasih banget buat dua lelaki tadi. 
Meski tetep robek dan berlubang, tapi lebih mending deh daripada harus digunting, kan?

 oh gamis, riwayatmu kini

Apa yang kami alami sore ini, tentu tak hanya lewat begitu saja. Aku pribadi ingin belajar menuai hikmah dari apa yang telah terjadi.

Hanyutnya sandal favorit suami, robeknya gamisku, itu merupakan suatu hal yang merugi kalau dilihat dari kacamata duniawi. Logikanya mesti "gelo rasane". Man-eman banget karang wis kelangan barang sik dimimi. (Sayang banget gitu)

Tapi, lagi-lagi kita harus percaya. Bahwa semua hal yang terjadi dalam hidup kita, semua sudah ada ketetapannya. Hal sepele sampe hal sik gede, Gusti Allah itu udah nggariske. Dan karena kita percaya takdir Allah selalu baik, maka mengapa harus gelisah dalam setiap menjalani takdir-Nya??

Soal sandal, mah besok beli lagi, insya Allah, Allah akan mengganti, ngasih rejeki lagi. Dan kalau soal gamis yang sobek, ya tetep dipakai aja toh karena memang seragam, ya ditembel korsase bunga-bunga kecil gitu biar tambah cantik๐Ÿ˜‚

Betewe, terimakasih sudah mampir dan membaca ceritaku.

See You ๐Ÿ˜˜

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah