Semburat Mimpi dalam Hamparan Kenyataan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Aku berjalan terburu-buru
menyusuri gang kecil yang menghubungkan jalan besar. Hari ini adalah hari
pertamaku kerja di KIN Mart, sebuah swalayan terkenal di kota Surabaya. Jam
tanganku menunjukkan pukul 06.58. Itu artinya waktuku tinggal dua menit.
Sementara jalan yang kutempuh masih sekitar 500 meter lagi. Rasanya seperti
ingin berlari, tapi highheel yang kukenakan seakan menghambatku.
Gawat. Benar-benar sudah
terlambat. Toko sudah dibuka, dan aku tidak mungkin lewat pintu lobi depan.
“Mbak, trainee ya?
Kok baru datang?” ucap satpam yang tengah berjaga.
“Iya, Pak. Maaf saya tadi
ada urusan mendadak.” Bibirku asal nyeplos, padahal sebenarnya aku
bangun kesiangan.
“Wah, Mbak sudah tidak
boleh masuk. Kalau dipaksakan masuk nanti bisa tertangkap CCTV dan atasan nanti
tahu kalau Mbak terlambat. Bisa kena SP, lho!”
Penuturan satpam paruh
baya itu membuatku gusar. Mengapa aku bisa se-bego ini sih. Seharusnya tadi malem aku nggak
usah maraton nonton drakor. Huhf,
hari pertama yang sial.
“Lalu gimana dong, Pak?”
Aku berharap ada solusi
atas masalah yang kuhadapi. Tiba-tiba datang seorang satpam lain yang muncul dari balik
pintu pos. Ada tulisan “MK” tertempel di dada kiri. Wajahnya terlihat lebih
muda dari bapak yang tadi.
“Mbak, keluar dulu. Lalu
masuk lewat pintu besar yang ada di samping gerbang ini. Langsung masuk aja
biasanya tidak dikunci dan tidak ada yang jaga. Nanti ada jalan kecil yang
tembus pintu masuk karyawan, di situ tidak ada CCTV,” ujarnya sambil menunjuk arah
jalan yang harus kutuju. Aku hanya manggut-manggut sambil memperhatikan detail
kata yang diucapkannya. Kusimak dengan seksama agar tidak tersesat. Saat ini,
MK sungguh seperti malaikat bagiku.
“Oh baik, Mas. Terimakasih
banyak, ya!” ucapku seraya berlari.
Aku pun menyusuri rute
yang dijelaskan MK. Sekitar 50 meter dari pos satpam tadi ada sebuah pintu
besar, kubuka perlahan dan begitu masuk aku sangat takjub. Tak kusangka yang
awalnya kupikir itu sebuah gudang penyimpanan, ternyata, begitu masuk ada halaman
yang sangat luas dengan aneka tanaman dan bunga-bunga yang indah. Sontak
terbesit hasrat ingin selfi dan mengabadikan pemandangan ini,
tapi kuurungkan niat saat teringat bahwa aku sudah terlambat.
Bak maling yang mau
mengincar barang curian, aku celingak celinguk sambil menyusuri jalan setapak kecil. Sampai
ujung aku menemukan dua pintu bertlaris besi, yang satu kecil, dan yang satu
besar berukuran sekitar dua kali tinggi badanku. Aku bingung memilih yang mana.
Seingatku MK tadi tidak menjelaskan tentang pintu besar dan kecil.
Sorot mataku tiba-tiba
menangkap angka yang tertera di jam tangan, sudah pukul 07.29. Jantungku
berdegup semakin kencang, apa yang harus kulakukan? Tempat ini sangat sepi, tak
ada orang yang bisa kutanyai. Tanpa pikir panjang, akhirnya kupilih pintu yang
besar.
“Mau ngapain?” Sebuah
suara membuatku tercengang. Tanganku terhenti memegang gagang pintu. Betapa
terkejutnya saat kulihat bahwa sosok yang ada di belakangku itu adalah Ibu
Mayang, staff HRD yang beberapa waktu lalu mewawancaraiku.
“Kamu terlambat?” Nada
suaranya seirama dengan denyut jantungku.
“Iya Bu. Maaf,” ucapku
lirih.
“Peringatan pertama, ya!
Besok jangan diulang lagi. Ayo ke ruangan saya!” ujarnya seraya membuka pintu. Bercampur gelisah aku pun mengikutinya dari belakang.
Belasan pasang mata menatapku tajam begitu melihat aku berjalan bersama
Bu Mayang. Ada yang sedikit berbisik seperti sedang menghakimiku. Kebanyakan
dari mereka mengenakan baju setelan warna marun. Sudah dipastikan para karyawan
senior, berbeda denganku yang masih hitam putih.
Jujur, tak bisa
tergambarkan betapa kacaunya perasaanku, tapi harus bagaimana lagi? Kuanggap
ini sebagai ujian pertama memasuki dunia kerja. Entah sebenarnya aku sudah siap
atau belum. Memang
apa yang bisa kulakukan dengan bekal ijazah
SMA? Mau kuliah, terkendala biaya.
“Tanda tangan surat
pernyataan ini dan jangan lupa diberi materai sepuluh ribu. Setelah itu cari
Mario minta registrasi fingerprint.”
Wanita berambut sebahu itu
mengulurkan secarik kertas. Perasaanku sedikit lega. Kukira Bu Mayang akan
marah besar dengan ujaran-ujaran yang menyakitkan karena keterlambatanku di
hari pertama kerja, ternyata hanya untuk urusan melengkapi administrasi.
“Oke, semoga betah.
Ingat interview waktu itu, apa tujuan kamu melamar kerja di sini, jadikan
motivasi!” ucapnya tanpa melihatku, sorot matanya malah tertuju ke layar
persegi panjang yang digenggamnya. Meski terkesan sombong tapi aku tahu dia
sedang perhatian denganku.
“Baik, Bu. Terimakasih,”
Aku pamit dan keluar ruangannya.
Perkataan Bu Mayang tadi laksana
oase di padang pasir. Aku jadi teringat ibu dan Mirna, adikku. Jauh-jauh dari desa aku pindah ke
kota, berpisah dengaan keluarga untuk mencari kerja. Setidaknya sekarang apapun kondisinya, aku harus bertahan demi gaji pertamaku nanti yang
akan kupersembahkan untuk mereka.
Setelah selesai mengurus
administrasi aku kembali membaur dengan para karyawan. Bulan pertama ini aku
mendapat tugas di bagian buah-buahan dan sayur segar.
“Sinta, buah-buahan yang
di kardus itu ditata ke rak display, ya!” seru Mbak Sari, koordinatorku. Aku
mematuhinya dan kurasa ini bukan hal yang sulit. Karakter Mbak Sari hampir
mirip dengan Bu Mayang, tegas tapi baik hati.
Aku memandangi hamparan
buah dan sayur yang berwarna-warni. Nampak indah bak taman yang ada di balik
pintu belakang. Buah-buahan impor ini jarang dibeli oleh ibuku. Akupun jarang
memakannya. Besok kalau sudah gajian aku akan membelinya. Terkadang aku iri
dengan teman-temanku. Mereka nggak usah capek-capek kerja. Fasilitas dan kebutuhan gaya hidup selalu tersedia. Hampir sembilan
puluh persen teman SMA-ku melanjutkan kuliah di universitas bergengsi. Bahkan
ada yang kuliah di luar negeri. Sebenarnya aku ingin seperti mereka, merasakan
euforia bangku perguruan tinggi. Jika uangku sudah terkumpul aku pengen
mewujud mimpi.
“Ibu nggak punya biaya.
Kalau kamu kuliah, adikmu juga harus kuliah. Ibu tidak sanggup kalau membiayai
semuanya.” keluh ibu suatu hari.
Jarak usiaku dengan adikku
terpaut 9 tahun. Logikanya ibu hanya perlu membiayai kuliahku saja. Toh,
setelah lulus aku pasti akan kerja sehingga bisa membantu biaya sekolah adikku.
Tapi entahlah, ibuku terlalu overthingking. Sejak bapak meninggal,
ibu hanya kerja serabutan. Pasti ada kekhawatiran untuk kehidupan di masa
depan. Uang yang ibu hasilkan hanya cukup buat makan sehari-hari. Itu pun sudah
untung kami punya sebidang sawah yang bisa ditanami padi.
***
Satu bulan telah berlalu.
Aku berhasil menerima gaji pertamaku. Terbayang raut wajah ibu dan Mirna yang
pastinya akan sangat gembira. Nominal yang kuterima memang tidak banyak. Hanya
tiga perempat dari UMR kota, tapi aku harus mensyukurinya.
"Betah kan kerja di
sini?" tanya MK saat aku menanti angkot di depan posnya. Hari ini jadwalku
pulang ke Wonokromo, menjenguk ibu dan adikku.
"Ya,
dibetah-betahin," jawabku asal. Jujur kalau ngomongin betah atau tidak, ya
aku lebih memilih atmosfir kerja yang tidak seperti ini. Pengennya aku duduk di
balik meja menghadap laptop dan berpakaian ala wanita karir.
"Aku sih nggak mau
selamanya kerja kayak gini," selorohku.
"Sama!" pungkas
MK dan kami tertawa bersama.
Sejak dia menjadi malaikat
penunjuk jalan rahasia, aku mulai akrab dengan MK. Oh iya ternyata MK adalah
Mario. Nama lengkapnya Mario Kinosuki. Saat kutanya tentang nama belakangnya
yang unik kayak nama orang Jepang, dia berkilah. Katanya Kinosuki itu
singkatan nama ayah dan ibunya. Aku pun menanggapi sebagai
leluconnya saja. Selain ramah, Mario juga humoris. Apapun yang terjadi dalam
hidupnya selalu dia hadapi dengan santai. Bahkan ketika dimarahi oleh atasan
pun dia tak ambil pusing.
“Ada info beasiswa kuliah
karyawan KIN Mart, nih."
Perkataan Mario membuatku
tergugah, tapi aku tak bisa menggubrisnya karena
kendaraan yang kutunggu telah tiba.
"Kirim ke WA aja,
ya!" selorohku sembari naik ke angkot berwarna biru.
Tak
lama kemudian aku membaca pesan yang
dikirim oleh Mario. Ada semburat cahaya yang seakan menerangi jalanku. Perlahan
kucermati setiap detail persyaratannya. Bismillah, semoga
aku bisa terpilih.
***
“Selamat ya Sinta, kamu
sekarang bisa kerja sambil kuliah. Tetap jaga kesehatan karena pasti akan
banyak tugas kuliah dan kerjaan di swalayan,” ucap Bu Mayang saat melihat
namaku bersanding dengan nama para calon mahasiswa yang lolos beasiswa KIN
Foundation. Aku masih tercengang tak percaya. Tersemat rasa bahagia bercampur syukur
yang tak terukur.
Bukan hanya Bu Mayang, Mbak Sari, dan teman-teman lainnya
bergantian memberiku ucapan selamat. Dan terakhir Mario, dia menjadi sosok
malaikat lagi untuk yang kedua kalinya.
Bulan demi bulan kulalui.
Hari-hari yang melelahkan harus kujalani. Makin ke sini kerjaanku bagaikan
jamur di musim hujan. Bermunculan terus. Seakan tak ada jeda beristirahat.
Rutinitas berangkat pagi pulang sore dan kuliah malam sudah ter-setting
default. Kuliah
di jurusan akuntansi membuat otakku sering mendidih, berat badanku berkurang
dan kantung mata mulai kentara. Tak
jarang aku tertidur di kamar kos dalam kondisi masih memakai seragam.
Lelah fisik dan mental
telah berpadu menciptakan harmoni yang menyedihkan. Pencapaian dan kemudahan yang kuraih
ternyata menuai aneka cibiran. Banyak
rekan kerja yang tampak ramah tapi ternyata menusuk dari belakang. Seolah-olah
ketulusan itu tak pantas kudapatkan. Biarlah, aku akan mencoba mengabaikannya. Fokus
pada cita-cita adalah tujuan utama. Kerja dan lulus kuliah secepatnya.
“Apa hebatnya kalau
dibantu orang dalam!”
Ungkapan itu pernah terdengar di telingaku. Bukan hanya satu
dua orang, tapi sejak aku kuliah banyak yang bilang bahwa beasiswa yang
kuterima karena campur
tangan orang dalam. Gunjingan itu lama-lama menggangguku. Aku
mulai mencari tahu.
“Bu, bolehkan saya tanya?
Apakah dulu saya diterima di sini karena orang dalam?”
Bu Mayang terdiam. Aku
berharap dia langsung menggeleng atau mengelak.
“Dari hasil test kemampuan
dasar nilai kamu memang tidak memenuhi standar. Tapi Pak Direktur yang memilihmu
saat melihat CV kamu, dan itu wajar. Toh kamu memang pekerja keras. Kamu layak
mendapatkan kesempatan itu,” tuturnya. Bibirku terbungkam. Sampai akhirnya aku
mencoba bertanya lagi soal beasiswa kuliah.
“Kalau untuk beasiswa, kamu
minta penjelasan sama Mario,” jawabnya.
“Kenapa Mario, Bu?”
tanyaku heran.
“Karena dia anak direktur KIN
Mart,”
Bak petir yang menggelegar
di siang yang terik. Kaget. Aku pun pamit dan bergegas mencari Mario.
“Dia masuk shiff malem,
Mbak. Samperin aja ke rumahnya,” kata Pak Din, rekan satpam MK yang paruh baya
itu.
“Di mana rumahnya, Pak?”
“Lha, masa gak tahu? Itu
lho di belakang, yang dulu itu Mbak masuk telat.”
“Yang pintu kecil?”
Pak Din mengiyakan. Sejurus
kemudian aku langsung berlari ke pintu belakang.
“Sinta? Ada apa?”
Mario terperanjat begitu
aku tiba di rumahnya. Bangunan yang megah dengan pelataran yang asri dan cantik
seperti taman itu tidak kuhiraukan. Hati dan pikiran sudah tak karuan.
“Aku mau minta penjelasan,”
“Penjelasan apa?”
“Apa maksud dari
kemudahan-kemudahan yang selama ini aku dapatkan?”
“Apaan sih? Ya, karena pertolongan Allah, kan?” Mendengar nada
bicaranya yang
asal-asalan membuatku geram. Kalau bukan karena
status dia sebagai anak pimpinan, pot tanaman itu pengen kulayangkan ke
wajahnya.
“Aku lagi serius, please! Apa benar aku lolos beasiswa
karena ada andil darimu?”
“Iya,”
Jawaban lugasnya menambah perih hatiku.
“Asal kamu tahu, apa yang kamu lakukan selama ini hanya
membuatku semakin tidak berdaya!” lanjutku dengan nada agak tinggi.
"Kamu berdaya, kamu
cekatan, terampil dan punya tekat yang kuat mewujudkan mimpimu. Apa salah jika
aku membantumu?” Kali
ini wajahnya berubah serius.
“Bantuanmu hanya membuatku
terperosok dalam cibiran, hinaan dan prasangka buruk lainnya. Mereka menuduh
nepotisme, aku
seperti penjilat!”
“Untuk apa kamu menghiraukan perkataan
orang?”
“Masa
bodoh, tapi aku ingin mewujudkan mimpiku karena
usahaku,”
“Bukankah kamu juga berusaha? Kamu setiap hari kerja, kuliah,
mengerjakan tugas. Selama
ini aku hanya memberikan petunjuk, selanjutnya kamu yang
berjuang.”
Entah seperti apa bentuk
perasaanku. Ada
dilema tapi hati merasa semakin hancur. Apa
hidupku hanya untuk dikasihani? Semerana
inikah hingga harus mendapat uluran tangan orang-orang kaya? Apa aku
memang tidak berkompenten? Mendapat beasiswa bukan karena prestasi. Sungguh, aku kecewa dan semakin terpuruk.
“Mario, kumohon cukup sampai
di sini. Aku mau berjuang sendiri. Aku tidak mau hidup dalam belas kasihanmu!”
Tanpa
menunggu tanggapan dari Mario, aku langsung pergi.
***
Semenjak
kejadian itu aku sudah tak melihat Mario lagi. Terbesit perasaan tidak enak.
Tapi aku enggan menghubungi. Bahkan nomor contactnya sudah kuhapus. Aku tidak
ingin berurusan dengannya. Namun, apa ini sebuah bentuk keangkuhan? Apa benar kata dia, bantuan-bantuan yang selama ini dia berikan bisa saja itu
bentuk pertolongan dari Allah. Bagaimana kalau jalan suksesku memang harus
melalui Mario? Bukankah aku seharusnya bersyukur, toh dulu aku memang
menganggapnya sebagai menjadi malaikat penolong saat aku telat. Ya Allah,
ampunilah aku.
Kabar
terakhir yang kudengar, Mario pindah ke Jakarta. Sebenarnya masih banyak yang
ingin aku pertanyakan, terlebih tentang statusnya. Kalau dia anak pemilik
swalayan ini, mengapa malah jadi satpam?
“Dua
tahun yang lalu, PT. Kinosuki yang berpusat di Jakarta mendapat sorotan media
karena kasus anak pewaris tunggal yang sering membuat onar, sering melakukan perundungan dan bahkan melakukan tindakan
kriminal, ” Bu Mayang membuka cerita.
“Mario?”
tanyaku. Bu Mayang mengangguk.
“Pak
Direktur melakukan berbagai cara agar Mario tidak dijebloskan ke penjara.
Namun, dia mempunyai caranya sendiri agar anaknya jera. Akhirnya Mario diasingkan
ke Surabaya untuk bertugas menjadi satpam, tidak diberi fasilitas mewah dan
diperlakukan seperti karyawan sebagai bentuk hukuman.”
***
Aku memegang sebuah name
tag bertuliskan “Sinta Handayani, S.Ak., Manajer Keuangan”. Mulai
hari ini aku tidak lagi mondar-mandir menata dagangan atau angkat-angkat
barang. Sebuah ruangan ber-AC dengan perlengkapan kursi, meja dan seperangkat
unit komputer ini akan menjadi tempatku bekerja. Seragam setelah merah marun pun
sudah tak terpakai lagi.
Sampai detik ini, aku
masih belum percaya atas semua pencapaian yang kudapatkan. Jam kerjaku sekarang
lebih fleksibel sehingga aku bisa leluasa jalan-jalan sambil memantau suasana
swalayan dan akhirnya aku bisa duduk santai memandangi taman belakang KIN Mart
sambil selfi. Warna-warni kupu-kupu beterbangan dari bunga ke bunga,
menambah keajaiban panorama taman ini. Seakan memberikan ketenangan dan
kesejukan bagi hati yang datang berkunjung.
“Gimana? Betah, kan, di
sini?”
Kepalaku langsung menoleh
ke arah sumber suara.
“Mario?” Senyumku langsung
mengembang melihat kehadirannya. Sudah tiga tahun berlalu kami tak pernah
bertemu. Kali ini aku ingin mengucapkan terimakasih dan meminta maaf yang
setulus-tulusnya.
“Setiap jalan hidup
manusia memiliki ceritanya sendiri. Kebanyakan orang menilai hidupku enak dan
bahagia karena berbagai fasilitas yang sudah tersedia. Tapi sedikit dari mereka
yang tahu bahwa aku juga sedang berjuang. Sama kayak kamu. Sejak Papa
mengirimku ke Surabaya dan menjadi satpam di KIN Mart, aku mulai merasakan
bahwa hidup ini memang keras tapi inilah kenyataan dan mau nggak mau
harus dijalani. Tapi di sisi lain, kita harus sadar bahwa kita hidup
berdampingan dengan manusia lainnya, jadi aku juga mulai berusaha untuk sebisa
mungkin membantu sesama sebagai penebusan dosa-dosa yang pernah kulakukan di
masa silam.”
Ada nanar di matanya yang
membuatku semakin bersalah atas sikap yang kulakukan dulu. Jujur, sejak
kejadian itu aku selalu terbangun tengah malam dengan penuh perasaan penuh
sesal dan rasa bersalah.
“Aku yang keterlaluan,
seharusnya dulu itu aku tidak ngomel-ngomel dan bersikap buruk padamu. Mario,
aku minta maaf.” Lelaki dengan jakun yang semakin kentara itu hanya melempar
senyum sambil menunjukkan jempol kanannya.
“Jadi, sejak kamu sudah
tidak di Surabaya, kamu ngapain aja?” tanyaku penuh selidik.
“Melanjutkan kuliahku yang
terbengkalai,” jawabnya datar.
“Terus? Sekarang udah
selesai?”
Dia mengangguk.
“Dan bulan depan akan ada
direktur baru di KIN Mart,” lanjutnya.
“Siapa?Kamu?” Mataku
terbelalak ketika melihat dia mengangguk lagi.
---------END----------
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Jd inget masa lalu. Hahahaa... Rapi cerpennya, ditunggu karya lainnya yow.. 😘
BalasHapusmasa lalu yang mana nih, hihiks? betewe makasih bgt ya dan setia baca karyaku
BalasHapusinspirasinya sampai surabaya nih.....
BalasHapushehehe iya mb next cerita kota mana lagi ya
Hapusnah muncullll namaku wkwkwkwk
BalasHapuswkwkwkwk
BalasHapus