Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Semburat Mimpi dalam Hamparan Kenyataan

 


Aku berjalan terburu-buru menyusuri gang kecil yang menghubungkan jalan besar. Hari ini adalah hari pertamaku kerja di KIN Mart, sebuah swalayan terkenal di kota Surabaya. Jam tanganku menunjukkan pukul 06.58. Itu artinya waktuku tinggal dua menit. Sementara jalan yang kutempuh masih sekitar 500 meter lagi. Rasanya seperti ingin berlari, tapi highheel yang kukenakan seakan menghambatku.

Gawat. Benar-benar sudah terlambat. Toko sudah dibuka, dan aku tidak mungkin lewat pintu lobi depan.

“Mbak, trainee ya? Kok baru datang?” ucap satpam yang tengah berjaga.

“Iya, Pak. Maaf saya tadi ada urusan mendadak.” Bibirku asal nyeplos, padahal sebenarnya aku bangun kesiangan.

“Wah, Mbak sudah tidak boleh masuk. Kalau dipaksakan masuk nanti bisa tertangkap CCTV dan atasan nanti tahu kalau Mbak terlambat. Bisa kena SP, lho!”

Penuturan satpam paruh baya itu membuatku gusar. Mengapa aku bisa se-bego ini sih. Seharusnya tadi malem aku nggak usah maraton nonton drakor. Huhf, hari pertama yang sial.

“Lalu gimana dong, Pak?”

Aku berharap ada solusi atas masalah yang kuhadapi. Tiba-tiba datang seorang satpam lain yang muncul dari balik pintu pos. Ada tulisan “MK” tertempel di dada kiri. Wajahnya terlihat lebih muda dari bapak yang tadi.

“Mbak, keluar dulu. Lalu masuk lewat pintu besar yang ada di samping gerbang ini. Langsung masuk aja biasanya tidak dikunci dan tidak ada yang jaga. Nanti ada jalan kecil yang tembus pintu masuk karyawan, di situ tidak ada CCTV,” ujarnya sambil menunjuk arah jalan yang harus kutuju. Aku hanya manggut-manggut sambil memperhatikan detail kata yang diucapkannya. Kusimak dengan seksama agar tidak tersesat. Saat ini, MK sungguh seperti malaikat bagiku.

“Oh baik, Mas. Terimakasih banyak, ya!” ucapku seraya berlari.

Aku pun menyusuri rute yang dijelaskan MK. Sekitar 50 meter dari pos satpam tadi ada sebuah pintu besar, kubuka perlahan dan begitu masuk aku sangat takjub. Tak kusangka yang awalnya kupikir itu sebuah gudang penyimpanan, ternyata, begitu masuk ada halaman yang sangat luas dengan aneka tanaman dan bunga-bunga yang indah. Sontak terbesit hasrat ingin selfi dan mengabadikan pemandangan ini, tapi kuurungkan niat saat teringat bahwa aku sudah terlambat.

Bak maling yang mau mengincar barang curian, aku celingak celinguk sambil menyusuri jalan setapak kecil. Sampai ujung aku menemukan dua pintu bertlaris besi, yang satu kecil, dan yang satu besar berukuran sekitar dua kali tinggi badanku. Aku bingung memilih yang mana. Seingatku MK tadi tidak menjelaskan tentang pintu besar dan kecil.

Sorot mataku tiba-tiba menangkap angka yang tertera di jam tangan, sudah pukul 07.29. Jantungku berdegup semakin kencang, apa yang harus kulakukan? Tempat ini sangat sepi, tak ada orang yang bisa kutanyai. Tanpa pikir panjang, akhirnya kupilih pintu yang besar.

“Mau ngapain?” Sebuah suara membuatku tercengang. Tanganku terhenti memegang gagang pintu. Betapa terkejutnya saat kulihat bahwa sosok yang ada di belakangku itu adalah Ibu Mayang, staff HRD yang beberapa waktu lalu mewawancaraiku.

“Kamu terlambat?” Nada suaranya seirama dengan denyut jantungku.

“Iya Bu. Maaf,” ucapku lirih.

“Peringatan pertama, ya! Besok jangan diulang lagi. Ayo ke ruangan saya!” ujarnya seraya membuka pintu. Bercampur gelisah aku pun mengikutinya dari belakang.

Belasan pasang mata menatapku tajam begitu melihat aku berjalan bersama Bu Mayang. Ada yang sedikit berbisik seperti sedang menghakimiku. Kebanyakan dari mereka mengenakan baju setelan warna marun. Sudah dipastikan para karyawan senior, berbeda denganku yang masih hitam putih.

Jujur, tak bisa tergambarkan betapa kacaunya perasaanku, tapi harus bagaimana lagi? Kuanggap ini sebagai ujian pertama memasuki dunia kerja. Entah sebenarnya aku sudah siap atau belum. Memang apa yang bisa kulakukan dengan bekal ijazah SMA? Mau kuliah, terkendala biaya.

“Tanda tangan surat pernyataan ini dan jangan lupa diberi materai sepuluh ribu. Setelah itu cari Mario minta registrasi fingerprint.”

Wanita berambut sebahu itu mengulurkan secarik kertas. Perasaanku sedikit lega. Kukira Bu Mayang akan marah besar dengan ujaran-ujaran yang menyakitkan karena keterlambatanku di hari pertama kerja, ternyata hanya untuk urusan melengkapi administrasi.

 “Oke, semoga betah. Ingat interview waktu itu, apa tujuan kamu melamar kerja di sini, jadikan motivasi!” ucapnya tanpa melihatku, sorot matanya malah tertuju ke layar persegi panjang yang digenggamnya. Meski terkesan sombong tapi aku tahu dia sedang perhatian denganku.

“Baik, Bu. Terimakasih,” Aku pamit dan keluar ruangannya. 

Perkataan Bu Mayang tadi laksana oase di padang pasir. Aku jadi teringat ibu dan Mirna, adikku. Jauh-jauh dari desa aku pindah ke kota, berpisah dengaan keluarga untuk mencari kerja. Setidaknya sekarang apapun kondisinya, aku harus bertahan demi gaji pertamaku nanti yang akan kupersembahkan untuk mereka. 

Setelah selesai mengurus administrasi aku kembali membaur dengan para karyawan. Bulan pertama ini aku mendapat tugas di bagian buah-buahan dan sayur segar.

“Sinta, buah-buahan yang di kardus itu ditata ke rak display, ya!” seru Mbak Sari, koordinatorku. Aku mematuhinya dan kurasa ini bukan hal yang sulit. Karakter Mbak Sari hampir mirip dengan Bu Mayang, tegas tapi baik hati.

Aku memandangi hamparan buah dan sayur yang berwarna-warni. Nampak indah bak taman yang ada di balik pintu belakang. Buah-buahan impor ini jarang dibeli oleh ibuku. Akupun jarang memakannya. Besok kalau sudah gajian aku akan membelinya. Terkadang aku iri dengan teman-temanku. Mereka nggak usah capek-capek kerja. Fasilitas dan kebutuhan gaya hidup selalu tersedia. Hampir sembilan puluh persen teman SMA-ku melanjutkan kuliah di universitas bergengsi. Bahkan ada yang kuliah di luar negeri. Sebenarnya aku ingin seperti mereka, merasakan euforia bangku perguruan tinggi. Jika uangku sudah terkumpul aku pengen mewujud mimpi.

“Ibu nggak punya biaya. Kalau kamu kuliah, adikmu juga harus kuliah. Ibu tidak sanggup kalau membiayai semuanya.” keluh ibu suatu hari.

Jarak usiaku dengan adikku terpaut 9 tahun. Logikanya ibu hanya perlu membiayai kuliahku saja. Toh, setelah lulus aku pasti akan kerja sehingga bisa membantu biaya sekolah adikku. Tapi entahlah, ibuku terlalu overthingking. Sejak bapak meninggal, ibu hanya kerja serabutan. Pasti ada kekhawatiran untuk kehidupan di masa depan. Uang yang ibu hasilkan hanya cukup buat makan sehari-hari. Itu pun sudah untung kami punya sebidang sawah yang bisa ditanami padi.

***

Satu bulan telah berlalu. Aku berhasil menerima gaji pertamaku. Terbayang raut wajah ibu dan Mirna yang pastinya akan sangat gembira. Nominal yang kuterima memang tidak banyak. Hanya tiga perempat dari UMR kota, tapi aku harus mensyukurinya.  

"Betah kan kerja di sini?" tanya MK saat aku menanti angkot di depan posnya. Hari ini jadwalku pulang ke Wonokromo, menjenguk ibu dan adikku. 

"Ya, dibetah-betahin," jawabku asal. Jujur kalau ngomongin betah atau tidak, ya aku lebih memilih atmosfir kerja yang tidak seperti ini. Pengennya aku duduk di balik meja menghadap laptop dan berpakaian ala wanita karir. 

"Aku sih nggak mau selamanya kerja kayak gini," selorohku.

"Sama!" pungkas MK dan kami tertawa bersama. 

Sejak dia menjadi malaikat penunjuk jalan rahasia, aku mulai akrab dengan MK. Oh iya ternyata MK adalah Mario. Nama lengkapnya Mario Kinosuki. Saat kutanya tentang nama belakangnya yang unik kayak nama orang Jepang, dia berkilah. Katanya Kinosuki itu singkatan nama ayah dan ibunya. Aku pun menanggapi sebagai leluconnya saja. Selain ramah, Mario juga humoris. Apapun yang terjadi dalam hidupnya selalu dia hadapi dengan santai. Bahkan ketika dimarahi oleh atasan pun dia tak ambil pusing. 

“Ada info beasiswa kuliah karyawan KIN Mart, nih."

Perkataan Mario membuatku tergugah, tapi aku tak bisa menggubrisnya karena kendaraan yang kutunggu telah tiba.

"Kirim ke WA aja, ya!" selorohku sembari naik ke angkot berwarna biru.

Tak lama kemudian aku membaca pesan yang dikirim oleh Mario. Ada semburat cahaya yang seakan menerangi jalanku. Perlahan kucermati setiap detail persyaratannya. Bismillah, semoga aku bisa terpilih.

***

“Selamat ya Sinta, kamu sekarang bisa kerja sambil kuliah. Tetap jaga kesehatan karena pasti akan banyak tugas kuliah dan kerjaan di swalayan,” ucap Bu Mayang saat melihat namaku bersanding dengan nama para calon mahasiswa yang lolos beasiswa KIN Foundation. Aku masih tercengang tak percaya. Tersemat rasa bahagia bercampur syukur yang tak terukur.

Bukan hanya Bu Mayang, Mbak Sari, dan teman-teman lainnya bergantian memberiku ucapan selamat. Dan terakhir Mario, dia menjadi sosok malaikat lagi untuk yang kedua kalinya.

Bulan demi bulan kulalui. Hari-hari yang melelahkan harus kujalani. Makin ke sini kerjaanku bagaikan jamur di musim hujan. Bermunculan terus. Seakan tak ada jeda beristirahat. Rutinitas berangkat pagi pulang sore dan kuliah malam sudah ter-setting default. Kuliah di jurusan akuntansi membuat otakku sering mendidih, berat badanku berkurang dan kantung mata mulai kentara. Tak jarang aku tertidur di kamar kos dalam kondisi masih memakai seragam.

Lelah fisik dan mental telah berpadu menciptakan harmoni yang menyedihkan. Pencapaian dan kemudahan yang kuraih ternyata menuai aneka cibiran. Banyak rekan kerja yang tampak ramah tapi ternyata menusuk dari belakang. Seolah-olah ketulusan itu tak pantas kudapatkan. Biarlah, aku akan mencoba mengabaikannya. Fokus pada cita-cita adalah tujuan utama. Kerja dan lulus kuliah secepatnya.

“Apa hebatnya kalau dibantu orang dalam!

Ungkapan itu pernah terdengar di telingaku. Bukan hanya satu dua orang, tapi sejak aku kuliah banyak yang bilang bahwa beasiswa yang kuterima karena campur tangan orang dalam. Gunjingan itu lama-lama menggangguku. Aku mulai mencari tahu.

“Bu, bolehkan saya tanya? Apakah dulu saya diterima di sini karena orang dalam?”

Bu Mayang terdiam. Aku berharap dia langsung menggeleng atau mengelak.

“Dari hasil test kemampuan dasar nilai kamu memang tidak memenuhi standar. Tapi Pak Direktur yang memilihmu saat melihat CV kamu, dan itu wajar. Toh kamu memang pekerja keras. Kamu layak mendapatkan kesempatan itu,” tuturnya. Bibirku terbungkam. Sampai akhirnya aku mencoba bertanya lagi soal beasiswa kuliah.

“Kalau untuk beasiswa, kamu minta penjelasan sama Mario,” jawabnya.

“Kenapa Mario, Bu?” tanyaku heran.

“Karena dia anak direktur KIN Mart,”

Bak petir yang menggelegar di siang yang terik. Kaget. Aku pun pamit dan bergegas mencari Mario.

“Dia masuk shiff malem, Mbak. Samperin aja ke rumahnya,” kata Pak Din, rekan satpam MK yang paruh baya itu.

“Di mana rumahnya, Pak?”

“Lha, masa gak tahu? Itu lho di belakang, yang dulu itu Mbak masuk telat.”

“Yang pintu kecil?”

Pak Din mengiyakan. Sejurus kemudian aku langsung berlari ke pintu belakang.

“Sinta? Ada apa?”

Mario terperanjat begitu aku tiba di rumahnya. Bangunan yang megah dengan pelataran yang asri dan cantik seperti taman itu tidak kuhiraukan. Hati dan pikiran sudah tak karuan.

“Aku mau minta penjelasan,”

“Penjelasan apa?”

“Apa maksud dari kemudahan-kemudahan yang selama ini aku dapatkan?”

Apaan sih? Ya, karena pertolongan Allah, kan?” Mendengar nada bicaranya yang asal-asalan membuatku geram. Kalau bukan karena status dia sebagai anak pimpinan, pot tanaman itu pengen kulayangkan ke wajahnya.

“Aku lagi serius, please! Apa benar aku lolos beasiswa karena ada andil darimu?”

“Iya,”

Jawaban lugasnya menambah perih hatiku.

Asal kamu tahu, apa yang kamu lakukan selama ini hanya membuatku semakin tidak berdaya!” lanjutku dengan nada agak tinggi.

"Kamu berdaya, kamu cekatan, terampil dan punya tekat yang kuat mewujudkan mimpimu. Apa salah jika aku membantumu?” Kali ini wajahnya berubah serius. 

“Bantuanmu hanya membuatku terperosok dalam cibiran, hinaan dan prasangka buruk lainnya. Mereka menuduh nepotisme, aku seperti penjilat!

Untuk apa kamu menghiraukan perkataan orang?”

“Masa bodoh, tapi aku ingin mewujudkan mimpiku karena usahaku,”

Bukankah kamu juga berusaha? Kamu setiap hari kerja, kuliah, mengerjakan tugas. Selama ini aku hanya memberikan petunjuk, selanjutnya kamu yang berjuang.

Entah seperti apa bentuk perasaanku. Ada dilema tapi hati merasa semakin hancur. Apa hidupku hanya untuk dikasihani? Semerana inikah hingga harus mendapat uluran tangan orang-orang kaya? Apa aku memang tidak berkompenten? Mendapat beasiswa bukan karena prestasi. Sungguh, aku kecewa dan semakin terpuruk.

“Mario, kumohon cukup sampai di sini. Aku mau berjuang sendiri. Aku tidak mau hidup dalam belas kasihanmu!”

Tanpa menunggu tanggapan dari Mario, aku langsung pergi.

***

Semenjak kejadian itu aku sudah tak melihat Mario lagi. Terbesit perasaan tidak enak. Tapi aku enggan menghubungi. Bahkan nomor contactnya sudah kuhapus. Aku tidak ingin berurusan dengannya. Namun, apa ini sebuah bentuk keangkuhan? Apa benar kata dia, bantuan-bantuan yang selama ini dia berikan bisa saja itu bentuk pertolongan dari Allah. Bagaimana kalau jalan suksesku memang harus melalui Mario? Bukankah aku seharusnya bersyukur, toh dulu aku memang menganggapnya sebagai menjadi malaikat penolong saat aku telat. Ya Allah, ampunilah aku.

Kabar terakhir yang kudengar, Mario pindah ke Jakarta. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku pertanyakan, terlebih tentang statusnya. Kalau dia anak pemilik swalayan ini, mengapa malah jadi satpam?

Dua tahun yang lalu, PT. Kinosuki yang berpusat di Jakarta mendapat sorotan media karena kasus anak pewaris tunggal yang sering membuat onar, sering melakukan perundungan dan bahkan melakukan tindakan kriminal, ” Bu Mayang membuka cerita.

“Mario?” tanyaku. Bu Mayang mengangguk.

“Pak Direktur melakukan berbagai cara agar Mario tidak dijebloskan ke penjara. Namun, dia mempunyai caranya sendiri agar anaknya jera. Akhirnya Mario diasingkan ke Surabaya untuk bertugas menjadi satpam, tidak diberi fasilitas mewah dan diperlakukan seperti karyawan sebagai bentuk hukuman.”

***

Aku memegang sebuah name tag bertuliskan “Sinta Handayani, S.Ak., Manajer Keuangan”. Mulai hari ini aku tidak lagi mondar-mandir menata dagangan atau angkat-angkat barang. Sebuah ruangan ber-AC dengan perlengkapan kursi, meja dan seperangkat unit komputer ini akan menjadi tempatku bekerja. Seragam setelah merah marun pun sudah tak terpakai lagi.

Sampai detik ini, aku masih belum percaya atas semua pencapaian yang kudapatkan. Jam kerjaku sekarang lebih fleksibel sehingga aku bisa leluasa jalan-jalan sambil memantau suasana swalayan dan akhirnya aku bisa duduk santai memandangi taman belakang KIN Mart sambil selfi. Warna-warni kupu-kupu beterbangan dari bunga ke bunga, menambah keajaiban panorama taman ini. Seakan memberikan ketenangan dan kesejukan bagi hati yang datang berkunjung.

“Gimana? Betah, kan, di sini?”

Kepalaku langsung menoleh ke arah sumber suara.

“Mario?” Senyumku langsung mengembang melihat kehadirannya. Sudah tiga tahun berlalu kami tak pernah bertemu. Kali ini aku ingin mengucapkan terimakasih dan meminta maaf yang setulus-tulusnya.

“Setiap jalan hidup manusia memiliki ceritanya sendiri. Kebanyakan orang menilai hidupku enak dan bahagia karena berbagai fasilitas yang sudah tersedia. Tapi sedikit dari mereka yang tahu bahwa aku juga sedang berjuang. Sama kayak kamu. Sejak Papa mengirimku ke Surabaya dan menjadi satpam di KIN Mart, aku mulai merasakan bahwa hidup ini memang keras tapi inilah kenyataan dan mau nggak mau harus dijalani. Tapi di sisi lain, kita harus sadar bahwa kita hidup berdampingan dengan manusia lainnya, jadi aku juga mulai berusaha untuk sebisa mungkin membantu sesama sebagai penebusan dosa-dosa yang pernah kulakukan di masa silam.”

Ada nanar di matanya yang membuatku semakin bersalah atas sikap yang kulakukan dulu. Jujur, sejak kejadian itu aku selalu terbangun tengah malam dengan penuh perasaan penuh sesal dan rasa bersalah.

“Aku yang keterlaluan, seharusnya dulu itu aku tidak ngomel-ngomel dan bersikap buruk padamu. Mario, aku minta maaf.” Lelaki dengan jakun yang semakin kentara itu hanya melempar senyum sambil menunjukkan jempol kanannya.

“Jadi, sejak kamu sudah tidak di Surabaya, kamu ngapain aja?” tanyaku penuh selidik.

“Melanjutkan kuliahku yang terbengkalai,” jawabnya datar.

“Terus? Sekarang udah selesai?”

Dia mengangguk.

“Dan bulan depan akan ada direktur baru di KIN Mart,” lanjutnya.

“Siapa?Kamu?” Mataku terbelalak ketika melihat dia mengangguk lagi.

 

---------END----------

 

 


Komentar

  1. Jd inget masa lalu. Hahahaa... Rapi cerpennya, ditunggu karya lainnya yow.. 😘

    BalasHapus
  2. masa lalu yang mana nih, hihiks? betewe makasih bgt ya dan setia baca karyaku

    BalasHapus
  3. inspirasinya sampai surabaya nih.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah