The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

[CERPEN] Mon, Ayo Move On. (Bagian 3)


Cerita sebelumnya Bagian 2

Setelah melampaui pemikiran yang panjang semalaman, akhirnya aku memutuskan datang ke Goldian Kafe. Meja nomer 5, tempat favorit kami. Meja itu menghadap ke area persawahan. Pemandangan yang indah. Tapi itu dulu. Jujur, setelah putus dengan Johan, aku nggak pernah lagi ke tempat ini. Tau kan, sebabnya? Biar nggak keinget dia mulu. Hiks...

Perpisahan memang selalu meninggalkan luka. Ironisnya, luka ini aku yang ciptakan. Aku yang belum dewasa menjalani ini semua. Semenjak lulus kuliah dan dia diterima di sebuah perusahaan penerbitan, hubunganku dengan Johan tak seperti dulu. Dia sangat sibuk. Terlebih dengan sikap Johan yang selalu tidak peka dengan perasaanku. Memang bukan masalah orang ketiga, tapi aku selalu cemburu saat teman-teman kerjanya yang cewek begitu akrab dengannya. Mereka lebih tahu tentang Johan daripada aku. Johan lebih banyak menghabiskan waktu mereka saat mengerjakan proyek. Sementara, untuk bertemu denganku sangat susah.

“Kita tim, jadi memang harus kompak,” ucapnya saat aku mengeluhkan sikap rekan kerjanya.

“Tapi nggak harus sok akrab dan sok perhatian sama kamu gitu, kan!” protesku. Dia hanya menunduk terdiam. Bibir tipisnya mengatup rapat.

“Ya terserah mereka lah. Hak mereka. Yang penting, perhatian dan kasih sayangku cuma padamu,” ucapnya sambil mengaduk kopinya yang tinggal separuh. Tanpa melirikku, tanpa sentuhan tangan lembutnya, atau belaian yang mendarat di pipiku. Aku dongkol. Enteng banget dia bilang gitu. Sama sekali nggak menganggap aku ada disampingnya. Amarahku mencapai puncak titik didih dan aku memutuskan untuk berpisah. Sejak itu sudah tidak ada lagi sapaan “aku” dan “kamu” ataupun “sayang”. Nomernya kublokir dan dia tidak lagi mencariku. Meski aku masih menderita karena semua perasaan ini. Sampai akhirnya email itu muncul.

“Sudah lama menunggu?” Suara bariton itu membuyarkan lamunanku. Pemilik suara itu mengenakan kemeja flanel biru muda dengan rambut cepak berdiri di samping tempat dudukku.

“Boleh, duduk? lanjutnya. Aku hanya mengangguk sambil melemparkan senyum.

“Apa kabar?” tanyanya sambil melipat tangan di atas meja.

“Baik,” ucapku singkat. Terasa berat untuk berucap. Aku mendadak grogi menghadapinya. Dia semakin menawan dari yang kulihat enam bulan yang lalu.

“Sudah pesen?” tanyanya lagi dan aku menggeleng. Dia lalu membuka buku menu dan memilih-milih rentetan gambar makanan.

“Mana undangannya?” Kalimat itu tiba-tiba saja meluncur dari bibirku. Seketika dia melempar pandangannya ke wajahku. Sambil tersenyum.

“Orang mana? Teman kerja?” cecarku. Johan lalu menutup buku menu. Dia memandangiku lagi. Membuatku semakin salah tingkah.

Bersambung

Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang