Postingan

Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Gara-Gara Bopo (Bagian 1)

Gambar
Lelaki berkemeja hijau telur asin itu tampak tak bersemangat mengaduk secangkir kopi panas yang tersaji di depannya. Matanya menatap ke arah jendela. Seakan sedang menanti sesorang. Diliriknya jam tangan lalu diikuti helaan napasnya memberat. Seperti sudah tidak ada daya lagi menunggu sesuatu yang sudah tidak pasti. Diambilnya selembar uang dari dompet yang terselip di saku belakang celananya. Lalu dia berdiri. Bersiap meninggalakan secangkir kopi yang belum sedikitpun dia seruput. “Mas Jojo, ya?” Tiba-tiba gadis berjilbab dusty pink muncul dari belakangnya dengan napas yang masih terengah-engah. Lelaki yang disebut namanya itu hanya menatapnya tajam. “Oh, jadi kamu Sachi?” ucap Jojo masih dengan ekspresi datar. “Benar. Maaf, terlambat, sudah membuat Mas menunggu ya,” Gadis itu lalu mengambil kursi dan merogoh secarik kertas yang sebuah pulpen dari dalam tas jinjingnya. Lelaki itu masih menatap dengan tatapan khasnya. “Apa bisa kita mulai sekarang?” ucap Sachi pa...

Kebahagiaan Hakiki dari Indahnya Berbagi

Gambar
Kebiasaan suka berderma atau memberi ternyata memiliki efek yang baik bagi kesehatan, baik fisik maupun emosi. Memberi merupakan ekspresi dari kesenangan atau kebahagiaan. Ekspresi ini timbul sebab adanya cinta. Cinta inilah yang menginginkan kita memberi kesenangan dan kebahagiaan pada orang lain. Ajaibnya pancaran kebahagiaan ini terlihat dari seseorang yang kita beri.  Yaps, inilah kebahagiaan. Kita merasakan puas bahkan bahagia luar biasa ketika seseorang juga merasakan kebahagiaan atas pemberian kita. Mungkin itulah alasannya, mengapa banyak orang melakukan hal yang sama. Sudah sepantasnya antar sesama, prinsip berbagi ini menjadi tradisi. Seolah-olah ini adalah bagian dari utuhnya kehidupan.  Tidak perlu menunggu menjadi kaya raya untuk bisa berbagi kepada sesama. Tidak juga harus bersikap heroik untuk membahagiakan orang lain. Mulai saja dari yang sederhana, yaitu peduli pada orang-orang di sekitar kita, seperti keluarga, pasangan, sahabat, tema...

[CERPEN] Mon, Ayo Move On. (Bagian 4)

Gambar
Cerita sebelumnya  Bagian 3 "Ternyata, kamu masih sama, Mon." Tatapannya tajam. Sungguh membiusku. "Kupikir kamu sudah berubah," lanjutnya. Bibirku jadi kelu. Tak bisa berucap lagi. Saat ini dia benar-benar sukses membuatku seperti manusia bodoh yang sedang kebingungan mencari contekan saat ujian. Aku tidak berubah bagaimana? Batinku.  "Setelah kita berpisah, aku berharap ada seseorang lagi yang hadir untuk menggantikanmu, Mon." Rangkaian ucapannya menghipnotisku. Aku seperti sedang tidak berhadapan dengan Johan yang biasanya. Dia nampak serius. Bahkan, dia tidak memakai kata "elu, gue" kayak sebelumnya. "Dan, akhirnya, udah ada kan sekarang?" pungkasku. Entah, aku bisa kuat nggak menerima jawaban sekaligus kenyataan, bahwa lelaki di depanku ini sebentar lagi akan benar-benar berpisah denganku. Dimiliki oleh orang lain. Batinku bergejolak.  Sejurus kemudian, Johan mengeluarkan secarik kertas tebal bewarna-warni dari saku baj...

[CERPEN] Mon, Ayo Move On. (Bagian 3)

Gambar
Cerita sebelumnya  Bagian 2 Setelah melampaui pemikiran yang panjang semalaman, akhirnya aku memutuskan datang ke Goldian Kafe. Meja nomer 5, tempat favorit kami. Meja itu menghadap ke area persawahan. Pemandangan yang indah. Tapi itu dulu. Jujur, setelah putus dengan Johan, aku nggak pernah lagi ke tempat ini. Tau kan, sebabnya? Biar nggak keinget dia mulu. Hiks... Perpisahan memang selalu meninggalkan luka. Ironisnya, luka ini aku yang ciptakan. Aku yang belum dewasa menjalani ini semua. Semenjak lulus kuliah dan dia diterima di sebuah perusahaan penerbitan, hubunganku dengan Johan tak seperti dulu. Dia sangat sibuk. Terlebih dengan sikap Johan yang selalu tidak peka dengan perasaanku. Memang bukan masalah orang ketiga, tapi aku selalu cemburu saat teman-teman kerjanya yang cewek begitu akrab dengannya. Mereka lebih tahu tentang Johan daripada aku. Johan lebih banyak menghabiskan waktu mereka saat mengerjakan proyek. Sementara, untuk bertemu denganku sangat susah. “Kita tim, ...

[CERPEN] Mon, Ayo Moven On (Bagian 2)

Gambar
Cerita sebelumnya  Bagian 1 Aku masih kepikiran email Johan. Tidak hanya emailnya, tepatnya, kenangan-kenangan yang telah tertoreh selama cinta itu masih terjalin. Hampir lima tahun kami bersama menjalani suka dan duka. Dulu, pertama bertemu, saat pesta sederhana ulang tahun Yaya, yang hanya dihadiri oleh keluarga Yaya, aku dan Johan, sobat dekat Bang Feri, abangnya Yaya. Karena tahu , HP Johan bagus, Bang Feri menyuruhnya menjadi juru foto. Dengan tangkas dan terlihat profesional, Johan menangkap setiap moment kebersamaan keluarga itu. Termasuk ada aku di dalam foto yang diambilnya. “Kak, nanti kirimin, ya,” ucapku sepontan pada Johan. Karena penasaran dengan hasil foto-fotonya. Padahal kita belum saling kenal. “Oke, share no wa aja,” Lalu aku menyebut nomerku dan dia langsung save sembari bertanya siapa namaku. Berawal dari situ akhirnya kita menjadi lebih akrab dan selalu kontak. Aku kagum dengan lelaki berparas sederhana tetapi memukau itu. Dia pribadi yang selalu...

[CERPEN] Mon, Ayo Move On.

Gambar
“Mon, minggu depan, gue mau nikah, loe harus dateng,ya. Kirimin alamat lengkap sama contact loe dong, biar gampang kalau mau kirim undangan.” Email dari Johan mengusik pagiku. Ternyata itu pesan yang dia kirim sejak 2 minggu yang lalu. Segera kubalas email itu dengan mengirim alamat dan nomer hp dan kuakhiri dengan pertanyaan tanggal pelaksanannya. Ternyata dia sedang on, email balasannya langsung masuk. “Ada apa Mon?” seloroh Yaya, teman sekantorku, "serius banget mantengin laptop?” “Email dari Johan,” “What? Tumben? Ada angin apa?” “Minggu depan dia mau nikah,” jawabku tak bersemangat. Aku tidak membayangkan jika secepat itu dia mendapatkan jodoh. Sedangkan aku, mantannya dulu, masih konsisten dengan kesendirian ini. Pikiranku jadi melayang ke masa enam bulan silam. Saat kami masih bersama, menjalin sebuah asmara khas anak remaja. Namun sayang, itu dulu. Sekarang dia sudah akan menyunting gadis pilihannya. “Apa? Johan mau nikah? Kapan?” “Tanggal 30...

[CERPEN] Rahasia Lingkaran Besar

Gambar
Aku menatap heran tingkah Dandy yang sedari tadi memilih dan memilah buku-buku bekas di gudang. Dia tampak asyik. Sebagian wajahnya dibalut masker dan tangan kanannya memegang kemoceng. Benda berbulu itu seakan menjadi senjatanya ketika ada tumpukan debu menempel di setiap buku yang dia sentuh. “Cari apa, Nak?” seruku dari luar pintu gudang. “Pembungkus pecel, Yah,” ucapnya sambil menekuni buku-buku kusam itu. Aku tersenyum. Meski berakhir berantakan, tetapi aku bangga melihat sikap anak sulungku yang masih kelas 1 SD itu mau berusaha mengerjakan tugasnya. Selama bulan ramadhan ini, sekolahnya membuka program enterpreunerschool yang diadakan seminggu sekali. Dia mendapat tugas membawa barang dagangan untuk acara pasar Ramadhan. Kali ini dia berencana membawa pecel bungkus buatan bundanya. “Sini, Ayah bantuin!” Aku mendekatinya. Namun bocah lelaki yang belum genap 8 tahun itu malah menghalauku dengan telapak tangannya yang penuh debu. Aku mengernyitkan dahi. Heran. “Aya...