Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Rahasia Lingkaran Besar




Aku menatap heran tingkah Dandy yang sedari tadi memilih dan memilah buku-buku bekas di gudang. Dia tampak asyik. Sebagian wajahnya dibalut masker dan tangan kanannya memegang kemoceng. Benda berbulu itu seakan menjadi senjatanya ketika ada tumpukan debu menempel di setiap buku yang dia sentuh.

“Cari apa, Nak?” seruku dari luar pintu gudang.

“Pembungkus pecel, Yah,” ucapnya sambil menekuni buku-buku kusam itu.

Aku tersenyum. Meski berakhir berantakan, tetapi aku bangga melihat sikap anak sulungku yang masih kelas 1 SD itu mau berusaha mengerjakan tugasnya. Selama bulan ramadhan ini, sekolahnya membuka program enterpreunerschool yang diadakan seminggu sekali. Dia mendapat tugas membawa barang dagangan untuk acara pasar Ramadhan. Kali ini dia berencana membawa pecel bungkus buatan bundanya.

“Sini, Ayah bantuin!” Aku mendekatinya. Namun bocah lelaki yang belum genap 8 tahun itu malah menghalauku dengan telapak tangannya yang penuh debu. Aku mengernyitkan dahi. Heran.

“Ayah tidak perlu membantuku. Aku bisa sendiri. Ini soal mudah,” katanya penuh percaya diri.

Aku tergelak melihat lagaknya yang sok pede ini. Mirip sekali dengan masaku dulu. Sewaktu kecil, aku selalu mengerjakan tugasku dengan penuh percaya diri. Tidak peduli salah atau benar. Aku selau menyelesaikan paling awal. Jujur bukan karena aku lebih pintar, hanya saja bagiku belajar adalah hal yang menyiksa dan ingin segera melewatinya. Aku lebih memilih menonton TV atau bermain dengan teman-teman daripada belajar. Setiap ada tugas dari guru aku berusaha menjawab asal-asalan dengan ilmu sok tahuku, dan beruntungnya kesoktahuanku itu selalu benar. Percaya nggak percaya, aku selalu menduduki peringkat 10 besar dalam kelasku. Aku pun bertambah percaya diri. Namun hal itu tidak berlangsung lama, sampai suatu ketika ada sebuah insiden yang membuatku berubah.

“Ayah, coba lihat ini!” Teriakan Dandy membuyarkan lamunanku. Dia menunjukkan sebuah buku tulis kusut bersampul kertas coklat.

“Ahmad Muzzaki, kelas V, buku ulangan Matematika,” ujarnya sambil sedikit mengeja tulisan yang tertera di sampul itu.

“Ini buku Ayah, ya? Boleh lihat, Yah?” lanjutnya.

Sekilas aku memperhatikan buku itu, lalu mengangguk. Tak habis pikir, ternyata buku itu masih saja tersimpan di dalam tumpukan kardus, tidak ikut terjual di loakan.

“Nilai Ayah pasti bagus-bagus. Kan, Ayah seorang profesor,”ucapnya bangga. Aku hanya tersenyum simpul. Sedikit tesanjung. Lalu dia mulai membuka lembar demi lembar kertas lusuh itu. Mulutnya menganga setiap melihat angka sepuluh yang tertera di setiap lembar tugas. Sebuah nilai yang memuaskan.

“Ayah, ini gambar apa?” tunjuknya pada sebuah halaman yang terdapat lingkaran besar tergambar di kertas yang lusuh itu.

Aku tersentak. Gambar itu membuat pikiranku kembali melayang pada kejadian 25 tahun silam. Masih terekam betapa sedihnya perasaanku waktu itu. Ibu memukul pantatku dan marah besar ketika melihat hasil ulangan matematikaku. Menyalahkanku yang selalu menonton TV, bermain kelerang, tak mau belajar. Kemarahannya menggema memenuhi sesaknya kamar kecilku. Kekecewaan dan kekesalan ibu sepertinya sudah memuncak karena selama itu aku tidak pernah mematuhi nasehatnya. Air mataku berlinang.

Ya, lingkaran yang tergambar di halaman buku itu adalah angka nol besar yang ditulis oleh guruku. Pekerjaanku salah semua (pekerjaan menjawab soal dengan metode sok tahu). Nilai yang berbentuk lingkaran itu semakin jelas tergores di atas kertas yang semakin memudar. Aku masih ingat, air mataku tepat jatuh di tengah-tengah lingkaran itu. Menyesali kebodohan dan kemalasanku saat kecil dulu. Kini bekas tetesan air mata itu telah mengering, tapi ingatan masa kelam itu masih terus membekas di ingatan.


“Ayah, mengapa diam, Yah?” tanyanya lagi. Sedari tadi dia manatapku sembari menanti jawaban. Aku kembali tersadar. Kudekap kepala Dandy. Ku ingin menyingkap semua rasa penasarannya. Lalu kuterangkan sejelas-jelasnya. Tidak ada yang kututupi. Aku ingin dia tahu bahwa ayahnya ini sebenarnya bukanlah seorang yang pandai. Hanya saja jika saat itu aku bangkit, dan mengubah sikapku. Aku bertekad, mau belajar dan berjuang siang malam menepis hasratku menonton TV, menolak ajakan teman-teman bermain kereleng. Andai saja aku tidak mau berubah, mungkin gelar doktor itu tidak akan tersemat pada namaku.


Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah