Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Bagaimana Aku Memulai Menulis?

Sejak kecil aku sangat suka berimajinasi. Ya, boleh dibilang suka berkhayal. AKu sering bermain peran, meski hanya sendirian. Pernah aku meminjam handuk kecil milik Emak, yang biasa beliau gunkan untuk daleman mukena, biar gak langsung basah mengenai mukena yang berakibat hitam-hitam [sebut saja dogkremak, hihi]. Lalu aku menyulapnya menjadi rambut panjang terurai bak seorang putri raja, dan mulainya sebuah skenario kehidupan di sebuah kerjaaan.

Tidak hanya sampai di situ, sebenarnya masih banyak imajinasi-imajinasi yang kumainkan saat masih kecil. Dan itu berlanjut ketika aku sudah menginjak SMP. Imajinasiku bertambah dengan adanya interaksi dengan lelaki. Aku mulai tertarik ketika melihat lelaki gagah yang berparas tampan. Disitu aku mulai berkahayal, bagaimana jika lelaki tampan itu menjadi pacarku. Ahhh...kayaknya bahagia. Begitulah apa yang kukira-kira.

Dari imajinasi itulah aku mulai mengarang sebuah cerita, tentu dengan tokoh si laki-laki tampan itu. Aku membuat sebuah cerita di buku tulis, atau di lembaran kertas HVS bekas. Aku rangkai menjadi sebuah cerita pendek, lalu ku klip sendiri seperti sebuah jilidan buku. Sampai akhirnya teman-temanku tahu, dan mereka mulai membaca karyaku. Berawal dari situ, aku mulai dikenal bahwa aku si pembuat cerpen. Salah satu guru bahasa Indonesia pun merekrutku menjadi anggota mading. Dan aku masih ingat, cerpen pertama yang dimuat di mading sekolahku berjudul " Bus, Pembawa Cinta". Hal receh memang, tapi waktu itu bagiku sebuah apresiasi yang luar biasa. Dan di tingkat SMP itu pun aku lumayan menonjol di kelas. 

Namun, kejayaanku di SMP sirnalah sudah saat aku mulai menginjak SMA. di tingkat ini aku benar-benar hanya seorang apalah-apalah. Pamorku benar-benar redup. Aku yang sebelumnya selalu menduduki peringkat pertama, aku yang selalu menulis cerpen, aku yang menjadi orang penting, mendadak hanya menjadi sebuah cerita fiksi belaka. Aku sudah melupakan menulis cerpen. 

Beberapa tahun kemudian, hampir lama setelah  runtuhnya kejayaan itu, aku mulai menulis lagi, tepatnmya saat aku sudah menikah dan punya anak. Di Facebook, aku melihat ada sebuah lomba menulis cerpen dan karya yang terpilih akan dibukukan. Aku pun mencoba, dan yaaaaaa, karyaku terpilih. Mulai dari situ, aku mulai menulis buku. Aku mulai tahu bagaimana sebuah karya itu bisa diterbitkan. Akhirnya, sekarang aku bisa memiliki 22 karya buku. Dan mengikuti beberapa komunitas kepenulisan.

Mau tau karya-karya ku?

Tunggu postinganku yaa....

Teman-teman bisa follow IG @ririn_kada atau Facebook Ririn Kada

Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah