Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

Dua Kebaikan Si Penjual Sayur




Di tengah teriknya siang itu, aku tetap melaju bersama motor bututku. Kondisi mesin yang sudah tua membuat jalanku melambat. Menjadikan panas semakin menyengat. Namun harus kujalani, karena anakku sudah menanti.
Sepulang menjemput Salman dari sekolahnya, aku berhenti di sebuah kedai sayur sederhana. Hasratku teringat dengan Abu Salman yang ingin makan ikan asin. Segera kucari deretan ikan asin itu, kupilih yang bagus dan tentu yang paling murah. Saat asyik memilih-milih tiba-tiba terdengar celetukan suara seorang lelaki yang sedari duduk di depan kedai. Si penjual sayur.
“Kui adikke ya, Mbak?” ucapnya sambil memperhatikan Salman yang sedang duduk di jok motor.
“Nopo, Mas?” tanyaku sembari memastikan pendengaranku, takut salah dengar ketika dia menyebut “adik”.
“Niku adikke?” ulangnya.
“Anakku e niku, Mas!” ucapku sambil tertawa. Si Penjual sayur itu pun ikut tertawa seakan jawabanku itu sebuah candaan.
“Mosok sih, nek anakke njenengan?”
“Saestu, Mas.”
“Kok rung wangun nek niku putrane. Wong njenengan isih enom kok anakke wis gede semono.”
Aku hanya terkekeh, lalu menyerahkan ikan asin pilihanku yang harganya empat ribu rupiah kemudian mengambil dua buah tomat yang ada di keranjang bawah.
“Pun mas, niki pinten sedaya.”
“Sek Mbak, tomate tak timbange.” Si Penjual sayur itu langsung menaruh tomat e di atas timbangan
“kurang mbak tomate, digenepi ya,” lanjutnya, lalu mengambil lagi beberapa tomat dari keranjang yang sama.
“Karo iwakke kabeh limang ewu, Mbak,” ucapnya lagi sambil memasukkan belanjaanku ke dalam kantong plastik.
Aku menekuni isi dompetku lalu menyerahkan uang lembaran berwarna kuning bergambar Dr.K.H. Idham Chalid. Kemudian berpamitan dan bergegas pulang.
Sesampai di rumah, kubuka isi belanjaan. Baru kusadari jika tomat yang seharga seribu itu berisi sebanyak delapan buah. Padahal perkiraanku paling ya seribu dapat tiga atau empat biji. Sungguh girangnya hatiku. Si Penjual sayur itu sudah membuat hatiku terhibur dengan mengatakan bahwa aku terlihat muda, ditambah lagi dikasih harga tomat yang semurah ini. Yah, semoga saja dia tidak salah hitung.





Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah