The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

Dua Kebaikan Si Penjual Sayur




Di tengah teriknya siang itu, aku tetap melaju bersama motor bututku. Kondisi mesin yang sudah tua membuat jalanku melambat. Menjadikan panas semakin menyengat. Namun harus kujalani, karena anakku sudah menanti.
Sepulang menjemput Salman dari sekolahnya, aku berhenti di sebuah kedai sayur sederhana. Hasratku teringat dengan Abu Salman yang ingin makan ikan asin. Segera kucari deretan ikan asin itu, kupilih yang bagus dan tentu yang paling murah. Saat asyik memilih-milih tiba-tiba terdengar celetukan suara seorang lelaki yang sedari duduk di depan kedai. Si penjual sayur.
“Kui adikke ya, Mbak?” ucapnya sambil memperhatikan Salman yang sedang duduk di jok motor.
“Nopo, Mas?” tanyaku sembari memastikan pendengaranku, takut salah dengar ketika dia menyebut “adik”.
“Niku adikke?” ulangnya.
“Anakku e niku, Mas!” ucapku sambil tertawa. Si Penjual sayur itu pun ikut tertawa seakan jawabanku itu sebuah candaan.
“Mosok sih, nek anakke njenengan?”
“Saestu, Mas.”
“Kok rung wangun nek niku putrane. Wong njenengan isih enom kok anakke wis gede semono.”
Aku hanya terkekeh, lalu menyerahkan ikan asin pilihanku yang harganya empat ribu rupiah kemudian mengambil dua buah tomat yang ada di keranjang bawah.
“Pun mas, niki pinten sedaya.”
“Sek Mbak, tomate tak timbange.” Si Penjual sayur itu langsung menaruh tomat e di atas timbangan
“kurang mbak tomate, digenepi ya,” lanjutnya, lalu mengambil lagi beberapa tomat dari keranjang yang sama.
“Karo iwakke kabeh limang ewu, Mbak,” ucapnya lagi sambil memasukkan belanjaanku ke dalam kantong plastik.
Aku menekuni isi dompetku lalu menyerahkan uang lembaran berwarna kuning bergambar Dr.K.H. Idham Chalid. Kemudian berpamitan dan bergegas pulang.
Sesampai di rumah, kubuka isi belanjaan. Baru kusadari jika tomat yang seharga seribu itu berisi sebanyak delapan buah. Padahal perkiraanku paling ya seribu dapat tiga atau empat biji. Sungguh girangnya hatiku. Si Penjual sayur itu sudah membuat hatiku terhibur dengan mengatakan bahwa aku terlihat muda, ditambah lagi dikasih harga tomat yang semurah ini. Yah, semoga saja dia tidak salah hitung.





Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang