Oleh: Ririn Kada
Gadis berambut lurus dengan
cardigan warna putih itu mondar mandir di pinggir jalan. Berkali-kali dia usap
benda persegi panjang warna hitam yang ada di tangan kanannya. Lalu
mendekatkannya ke telinga. Raut wajahnya mengiba. Mengharap ada jawaban suara
dari seberang sana. Tak berselang lama, datanglah seorang laki-laki muda bersama
Toyota Camry-nya, berhenti di seberang jalan, tepat di depan ruko bertuliskan
“Titipan Sepeda Pak Pong”.
“Ay, gimana nih, belum bisa
nitipin motor.” Gadis itu langsung menghampiri si lelaki. Lelaki yang dipanggil
Ay, itu lalu menggandeng tangan si gadis. Mereka berdua lalu bergegas masuk ke
dalam ruko, menemui seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun yang sedang duduk
di depan meja samping pintu masuk. Dialah pemiliknya, Pak Pong.
“Setiap pelanggan baru yang akan menitipkan
motor di tempat ini harus ngisi formulir. Nanti ngisi nama lengkap, nomor
identitas, alamat, tujuan pergi, keterangan selanjutnya naik apa, dan mengisi
identitas penjemput jika dijemput oleh seseorang, dan dilampiri fotokopi KTP si
pemilik motor. Atau bagi yang langganan rutin, nanti saya buatkan kartu.”
Begitu mendengar penjelasan Pak Pong,
lelaki muda itu bergidik. Amarahnya seakan membuncah. Untuk mengisi formulir
tentu memakan waktu, belum lagi fotokopi KTP. Masih pukul empat dini hari, mana
ada warung fotokopi yang sudah buka. Mustahil bagi Vino dan Gina untuk
mengikuti prosedur tersebut, mengingat bahwa mereka harus segera tiba di Istana
Ratu Boko sebelum matahari terbit.
Bisa berfoto prewedding di bawah
sunrise adalah impian mereka. Ini merupakan kesempatan mahal bagi pasangan muda
yang akan menikah dua bulan lagi itu. Bagaimana tidak? Untuk mencari waktu yang
tepat dan pas dengan libur mereka sangatlah susah. Mengingat libur mereka yang
tidak tentu harinya. Vino yang berprofesi sebagai wartawan majalah nasional di
Jakarta sangatlah susah untuk mendapatkan cuti, sedangkan Gina, seorang perawat
yang bekerja di rumah sakit memiliki jam kerja dengan sistem shiff. Vino yang
rumahnya dekat Prambanan, menyarankan agar Gina menitipkan motornya di daerah
Piyungan agar dia bisa menjemputnya lebih dekat dan lebih efisien waktu.
“Maaf, Pak, kami buru-buru. Bisa nitip dulu,
biar persyaratannya diurus nanti saja?” ucap Vino mencoba tetap ramah.
“Nggak bisa, Mas.”
“Atau saya ninggal KTP asli dulu
saja dan saya bayar uang penitipannya ini?” Vino menyerahkan selembar uang berwarna
dominan biru bergambar Ir.H. Djuanda
Kartawidjaja.
“Maaf, Mas. Sebaiknya njenengan bawa saja motor itu.
Monggo, silakan.” Pak Pong mengembalikan lembaran uang itu dan beranjak dari
tempat duduknya. Vino benar-benar tersinggung. Amarahnya semakin naik.
Tangannya mengepal, hampir saja melayang ke wajah lelaki tua itu.
“Pak, motor itu milik cewek saya,
calon istri saya. Sebentar lagi kami akan menikah. Kami mengejar waktu untuk
mendapatkan view sunrise di foto prewedding kami. Waktu kami tidak banyak, Pak!”
Penjelasan Vino yang panjang lebar itu tetap membuat Pak Pong menggeleng.
Pasangan muda itu hampir putus asa. Dengan menahan rasa kecewa yang mendalam,
akhirnya mereka memutuskan untuk naik kendaraan sendiri-sendiri.
“Maaf, ya, Mas. Karena aturan
penitipan motor di sini kaya gitu!” ujar anak buah Pak Pong yang membantu
mengeluarkan motor Gina yang sudah terparkir rapi sejak tadi.
“Penitipan sepeda aneh! Bikin
rempong!” keluh Vino.
“Iya mas, tapi ini dilakukan demi
kenyamanan bersama!”
“Apanya yang nyaman, yang ada
malah pelanggan pada kabur, karena prosedur yang rumit ini.”
“Insya Allah kalau pelanggan yang
mempunyai niat baik, nggak bakal kabur, Mas!”
“Maksudnya?”
“Beberapa bulan yang lalu, tempat
ini hampir mau dibakar massa. Seorang pria yang istrinya sering menitipkan
motor di sini, marah besar. Dia mengajak para preman dan mempengaruhi warga
sekitar untuk menghancurkan tempat ini.”
“Alasannya?” tanya Vino penuh
penasaran.
“Karena istrinya menitipkan
sepeda di sini lalu dijemput selingkuhannya. Suaminya tahunya dari rumah si
istri pergi sendiri, dan ternyata itu sudah berlangsung hampir dua tahunan.”
Vino dan Gina kaget mendengar
penuturan anak buah Pak Pong itu.
“Sejak saat itulah Pak Pong
menerapkan peraturan ini, beliau tidak mau sembarang menerima titipan. Beliau
juga tidak mau tempat jasa penitipan motor ini memfasilitasi orang untuk berselingkuh,”
lanjutnya.
Vino menarik napas panjang.
Ternyata Pak Pong punya niat yang mulia. Dia menjadi merasa bersalah karena
tadi sudah bersikap kurang sopan terhadap lelaki tua yang masih lajang itu.
Komentar
Posting Komentar