Tidak Mengurusi Perpustakaan, Katanya.

Gambar
Sebagai pustakawan, aku sangat percaya bahwa perpustakaan adalah jantung dari sebuah ekosistem literasi di sekolah. Bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, perpustakaan adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, kreativitas, dan kecerdasan para siswa. Maka, wajar jika aku berharap semua elemen sekolah, terutama para guru, memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Namun, suatu hari aku berbincang dengan seorang teman—seorang guru yang kukagumi karena kompetensinya yang luar biasa. Dia adalah figur yang dikenal sebagai guru penggerak, sosok yang sering digadang-gadang sebagai inspirasi dalam memajukan pendidikan. Dengan penuh rasa ingin tahu, aku bertanya kepadanya tentang perpustakaan di sekolahnya. Namun, alih-alih mendapat jawaban yang bersemangat atau refleksi mendalam, dia malah berkata dengan santai, “Bagaimana apanya? Aku tidak mengurusi perpustakaan.” Jawaban itu membuatku tercekat. Aku tidak tahu apa yang lebih menohok—apakah nada seolah-olah perpustakaan itu tidak pentin...

[CERPEN] Titipan Sepeda Pak Tong



Oleh: Ririn Kada

Gadis berambut lurus dengan cardigan warna putih itu mondar mandir di pinggir jalan. Berkali-kali dia usap benda persegi panjang warna hitam yang ada di tangan kanannya. Lalu mendekatkannya ke telinga. Raut wajahnya mengiba. Mengharap ada jawaban suara dari seberang sana. Tak berselang lama, datanglah seorang laki-laki muda bersama Toyota Camry-nya, berhenti di seberang jalan, tepat di depan ruko bertuliskan “Titipan Sepeda Pak Pong”.
“Ay, gimana nih, belum bisa nitipin motor.” Gadis itu langsung menghampiri si lelaki. Lelaki yang dipanggil Ay, itu lalu menggandeng tangan si gadis. Mereka berdua lalu bergegas masuk ke dalam ruko, menemui seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun yang sedang duduk di depan meja samping pintu masuk. Dialah pemiliknya, Pak Pong.
 “Setiap pelanggan baru yang akan menitipkan motor di tempat ini harus ngisi formulir. Nanti ngisi nama lengkap, nomor identitas, alamat, tujuan pergi, keterangan selanjutnya naik apa, dan mengisi identitas penjemput jika dijemput oleh seseorang, dan dilampiri fotokopi KTP si pemilik motor. Atau bagi yang langganan rutin, nanti saya buatkan kartu.”
Begitu mendengar penjelasan Pak Pong, lelaki muda itu bergidik. Amarahnya seakan membuncah. Untuk mengisi formulir tentu memakan waktu, belum lagi fotokopi KTP. Masih pukul empat dini hari, mana ada warung fotokopi yang sudah buka. Mustahil bagi Vino dan Gina untuk mengikuti prosedur tersebut, mengingat bahwa mereka harus segera tiba di Istana Ratu Boko sebelum matahari terbit.
Bisa berfoto prewedding di bawah sunrise adalah impian mereka. Ini merupakan kesempatan mahal bagi pasangan muda yang akan menikah dua bulan lagi itu. Bagaimana tidak? Untuk mencari waktu yang tepat dan pas dengan libur mereka sangatlah susah. Mengingat libur mereka yang tidak tentu harinya. Vino yang berprofesi sebagai wartawan majalah nasional di Jakarta sangatlah susah untuk mendapatkan cuti, sedangkan Gina, seorang perawat yang bekerja di rumah sakit memiliki jam kerja dengan sistem shiff. Vino yang rumahnya dekat Prambanan, menyarankan agar Gina menitipkan motornya di daerah Piyungan agar dia bisa menjemputnya lebih dekat dan lebih efisien waktu.
 “Maaf, Pak, kami buru-buru. Bisa nitip dulu, biar persyaratannya diurus nanti saja?” ucap Vino mencoba tetap ramah.
“Nggak bisa, Mas.”
“Atau saya ninggal KTP asli dulu saja dan saya bayar uang penitipannya ini?” Vino menyerahkan selembar uang berwarna dominan biru bergambar  Ir.H. Djuanda Kartawidjaja.
“Maaf, Mas.  Sebaiknya njenengan bawa saja motor itu. Monggo, silakan.” Pak Pong mengembalikan lembaran uang itu dan beranjak dari tempat duduknya. Vino benar-benar tersinggung. Amarahnya semakin naik. Tangannya mengepal, hampir saja melayang ke wajah lelaki tua itu.
“Pak, motor itu milik cewek saya, calon istri saya. Sebentar lagi kami akan menikah. Kami mengejar waktu untuk mendapatkan view sunrise di foto prewedding kami. Waktu kami tidak banyak, Pak!” Penjelasan Vino yang panjang lebar itu tetap membuat Pak Pong menggeleng. Pasangan muda itu hampir putus asa. Dengan menahan rasa kecewa yang mendalam, akhirnya mereka memutuskan untuk naik kendaraan sendiri-sendiri.
“Maaf, ya, Mas. Karena aturan penitipan motor di sini kaya gitu!” ujar anak buah Pak Pong yang membantu mengeluarkan motor Gina yang sudah terparkir rapi sejak tadi.
“Penitipan sepeda aneh! Bikin rempong!” keluh Vino.
“Iya mas, tapi ini dilakukan demi kenyamanan bersama!”
“Apanya yang nyaman, yang ada malah pelanggan pada kabur, karena prosedur yang rumit ini.”
“Insya Allah kalau pelanggan yang mempunyai niat baik, nggak bakal kabur, Mas!”
“Maksudnya?”
“Beberapa bulan yang lalu, tempat ini hampir mau dibakar massa. Seorang pria yang istrinya sering menitipkan motor di sini, marah besar. Dia mengajak para preman dan mempengaruhi warga sekitar untuk menghancurkan tempat ini.”
“Alasannya?” tanya Vino penuh penasaran.
“Karena istrinya menitipkan sepeda di sini lalu dijemput selingkuhannya. Suaminya tahunya dari rumah si istri pergi sendiri, dan ternyata itu sudah berlangsung hampir dua tahunan.”
Vino dan Gina kaget mendengar penuturan anak buah Pak Pong itu.
“Sejak saat itulah Pak Pong menerapkan peraturan ini, beliau tidak mau sembarang menerima titipan. Beliau juga tidak mau tempat jasa penitipan motor ini memfasilitasi orang untuk berselingkuh,” lanjutnya.
Vino menarik napas panjang. Ternyata Pak Pong punya niat yang mulia. Dia menjadi merasa bersalah karena tadi sudah bersikap kurang sopan terhadap lelaki tua yang masih lajang itu.


Komentar

Popular Posts

Pandai Mengukur, Lupa Bersyukur

Tak Apa Jika Pencapaian Kita Berbeda

Tak Mewah Tak Berarti Susah