The Power of Qadarullah: Belajar Tenang Saat Takdir Tidak Sejalan Harapan

Gambar
  Aku pernah merasa jengkel, kecewa, bahkan ingin marah ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginanku. Rasanya seperti semua usaha dan harapan dipatahkan dalam sekejap. Saat itu, aku merasa punya cukup alasan untuk mengeluh. Tapi di tengah kemarahan yang hampir meluap, ada seseorang yang berkata  "Qadarullah." Tak lebih. Hanya satu kata itu. Tapi hatiku seperti dicegah untuk meledak. Langsung nyesss. Seperti ada kekuatan yang tidak terlihat dari kata itu. Menenangkan. Menahan. Bahkan menyadarkanku. Sejak saat itu, aku mulai memahami: Qadarullah bukan sekadar ucapan. Ia adalah bentuk kepasrahan yang paling elegan kepada Allah. Ia adalah jembatan antara usaha dan ridha. Ia adalah pengakuan bahwa kita ini hamba—yang tak tahu rencana utuh dari Sang Pengatur. Belajar Menerima Takdir Kalimat Qadarullah, wa maa syaa-a fa‘al berarti, "Ini adalah takdir Allah, dan apa yang Dia kehendaki pasti terjadi." Kalimat ini bukan untuk orang yang lemah, justru untuk me...

[CERPEN] Derai Cinta Papa




John menunduk lesu. Sedari tadi dia hanya terdiam sambil memainkan ponselnya.

“Maafkan, Papa,” celetuk seorang lelaki paruh baya yang duduk di sampingnya. Pandangan lelaki itu fokus ke depan. Kedua tangannya tampak terampil memainkan setir.

“Terlambat!” tukas John.

“Masih ada kesempatan menjadi runner up.”

“Kalau saja Papa tadi tidak terlambat, aku pasti bisa memenangkan lombanya.” John masih menampakkan kekesalannya.

“Apa hubungannya?”

“Kedatangan Papa memecah konsentrasiku. Mengapa Papa datang di menit-menit terakhir? Aku gagal mempertahankan bolaku.” seloroh John. Emosinya sedikit tak terkendali. Peristiwa ini membuat pamornya menurun sebagai seorang atlit basket profesional.

“Papa harus mengurus izin dulu di dinas. Sekali lagi, papa minta maaf.” Pemintaan maaf papa John tak membuat kekecewaannya berkurang. Dia masih tetap saja kesal.


***


Malam terasa sunyi. Nyanyian burung hantu membuat suasana semakin mencekam. Seperti pikiran John. Banyak permasalahan berkeliaran di pikirannya. Lelaki berambut cepak, itu duduk termangu di pinggir jendela. Manik matanya menangkap sesosok yang tak asing. Seorang lelaki memasuki mobil dan melaju meninggalkan rumahnya. Papanya pergi lagi, tanpa pamit. Hatinya semakin bergemuruh. Kekewaannya semakin memuncak. Dia merasa papanya sudah tidak lagi peduli.


Air mata dari anak berpostur tinggi itu mulai berlinang. Dilihatnya sebuah foto wajah wanita cantik yang merangkaul seorang anak laki-laki memegang bola basket. Terbingkai indah dalam sebuah pigura kayu.


“Mama, aku kangen. Aku kangen saat mama selalu menemani main basket, menyemangatiku dalam setiap pertandingan. Mama, maafin aku. Hari ini aku kalah. Aku ingin mama di sini memelukku.”


Tangis John pecah. Dipeluknya dengan erat foto mamanya yang telah tiada itu sambil sesenggukkan. Setahun yang lalu, mamanya meninggal akibat kecelakaan. Dan kini, dia hanya tinggal bersama papanya yang sangat sibuk. Jabatan sebagai kepala sekolah di sebuah SMA ternama di kota Yogya, membuat papanya sangat sulit meluangkan waktu untuknya, seperti menghadiri pertandingan tadi pagi.


***


John masih bermalas-malasan di depan TV. Tak dia hiraukan papanya yang sedari tadi sibuk di dapur. Pagi ini dia masih menyimpan sisa kekecewaan pada lelaki yang selisih 30 tahun itu.


“John, ayo sarapan dulu. Lalu kemasi barang-barangmu!” ucap papanya. John terkesiap. Dia mulai berpikir yang aneh-aneh. Apakah papanya akan mengusirnya dari rumah ini karena sikapnya kemarin?


“Papa sudah meminta cuti satu minggu. Kita akan pergi berlibur ke luar kota. Tadi malam papa baru saja menyelesaikan perizinannya”


John langsung berbinar. Dia tidak menyangka papanya telah merencanakan semua ini untuknya. Prasangka-prasangka burung tentang ayahnya sirna sudah.


“Terima kasih, Pa. Maafkan John,”


Papanya mendekat, lalu memeluk anak semata wayangnya. “Semua orang tua selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Maafkan, papa yang belum sempurna. Izinkan papa mencintaimu, menyayangimu dengan cara Papa. Papa yakin pasti mama juga akan bahagia melihat kita.” Pelukan kedua lelaki itu semakin erat. John merasa punggungnya basah oleh derai air mata.


***








Komentar

Popular Posts

Tak Mewah Tak Berarti Susah

Ghibah: Antara Obrolan Sehari-hari dan Kebiasaan yang Dinormalisasi

Ketika Tren Ramadan dan Lebaran Menjadi Bumerang